PADANG, METRO–Eksistensi baju kuruang basiba, yang merupakan identitas pakaian adat perempuan Minangkabau, mulai hilang di kalangan generasi muda saat ini. Bahkan, perempuan saat ini jarang dan bahkan tidak pernah menggunakan dan mengetahui makna dari baju kuruang basiba. Salah seorang perempuan bernama Dina (25) ketika ditemui di Taman Budaya Sumbar, saat menyaksikan perlombaan Baju Kuruang Basiba, Selasa (5/10), mengaku tidak tahu sama sekali tentang makna dari baju kuruang basiba. Bahkan, dirinya juga tidak pernah menggunakan baju kuruang basiba dalam kehidupan seharinya. “Tidak pernah lah, makainya tiap hari. Keseharian cuma pakai pakaian biasa saja,” ujar perempuan yang mengaku tinggal di Jalan Raya Siteba, Kecamatan Nanggalo Kota Padang ini.
Perempuan yang memakai jilbab dan baju kaos serta celana panjang itu juga mengatakan, dirinya hanya menggunakan pakaian adat Minangkabau saat ada keluarganya melangsungkan resepsi pernikahan saja. “Ya, pernah juga makai pakaian adat waktu baralek (resepsi pernikahan) keluarga. Saya ikut membawa anak daro ke pelaminan dan menemaninya,” ujarnya.
Untuk merawat ingatan masyarakat Provinsi Sumbar terhadap nilai-nilai adat dan budayanya, Dinas Kebudayaan Provinsi Sumbar menggelar Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) yang dimulai sejak Jumat hingga Selasa (1-5/10) di Taman Budaya Sumbar.
Salah satu kegiatan PKD pada hari terakhir penyelenggaraannya, menghadirkan perlombaan Baju Kuruang Basiba. Perlombaan ini dibagi dua kategori, yakni kategori dewasa dan remaja.
Terlihat Selasa siang itu (5/10), perempuan-perempuan cantik Minangkabau begitu anggun berjalan melenggok di atas pentas utama menuju bagian bawah pentas. Mereka memperagakan baju kurung basiba dengan berbagai model dan warna. Kehadiran mereka ini mendapat apresiasi pengunjung yang hadir.
Untuk kategori dewasa diikuti 30 peserta dan remaja sebanyak remaja 24 peserta. “Awalnya 23 orang ada yang mendaftar remaja. Namun, ada yang salah daftar, karena masuk kategori dewasa. Setelah dicek umurnya, maka masuk kategori remaja. Nanti malam pengumuman pemenangnya. Pesertanya se-Sumbar,” ungkap MC Perlombaan Baju Kuruang Basiba, Gilang Dwinanda, Selasa (5/10).
Bundo Kanduang Sumbar, Raudah Thaib, yang bertindak sebagai juri pada perlombaan itu mengatakan, perlombaan dengan tema merawat ingatan ini sangat bagus sekali.
“Dengan tema tersebut, mengajak peserta dan pengunjung yang hadir tentang nilai-nilai tradisi yang diwariskan nenek moyang kita. Apalagi dengan era global saat ini, ada kecenderungan menyeragamkan. Kondisi ini membuat masyarakat mulai mencari rujukan kembali, untuk melihat kembali milik dan kepunyaan kita,” ungkap Sastrawati itu.
Dengan adanya perlombaan baju kuruang basiba ini memberikan pendidikan bagi anak muda sekarang, kapan pakaian itu digunakan, siapa yang memakai dan saat acara apa dipakai?.
“Jadi ada ketentuan memakainya. Anak Gadis Minangkabau apa pakaiannya. Perempuan yang sudah menikah apa yang dipakainya. Sekarang sudah campur aduk saja. Anak gadis ada yang memakai pakaian Koto Gadang. Padahal anak gadis di Minangkabau bajunya dalamnya harusnya di atas lutut. Ini yang didudukan itu. Nah inilah seharusnya guna diselenggarakan acara ini,” ungkap Budayawati itu.
Raudah Thaib mengungkapkan, baju kuruang basiba hanya memiliki sejenis saja. Tetapi ada perbedaan bentuknya. Untuk anak gadis atau anak muda, dalam baju yang digunakannya di atas lutut. Kalau sudah menikah, maka dalam bajunya di bawah lutut.
Anak gadis, juga tidak memakai selendang Koto Gadang. Karena selendang itu digunakan untuk orang yang sudah menikah. Raudah Thaib juga mengingatkan, tidak semua orang dewasa yang memakai selendang penuh dengan motif bunga. “Jadi ada aturannya, kalau selendangnya itu dengan motif bunga dan sulaman, itu hanya digunakan oleh anak daro (perempuan yang menikah-red) untuk pergi manjalang rumah mintuo (pergi ke rumah mertua-red). Ada aturan dan makna dalam baju tersebut,” tegasnya.
Baju kuruang basiba menurutnya, memiliki pakem tersendiri. Selain aturan anak gadis dalam bajunya harus di atas lutut, dan orang dewasa dalamnya di bawah lutut, juga ada model dengan bagian bahunya yang tidak dijahit. Selain itu juga harus memakai siba dan penutup kepala. “Itu pakemnya, selain itu juga tidak boleh sempit tidak boleh jarang (longgar),” ungkapnya.
Raudah Thaib juga memberikan masukan dalam penyelenggaran lomba tersebut, di mana panitia juga harus membuatkan kategori temanya.
“Ada yang tinggal dari acara ini, yakni tema pakaiannya. Seperti tema pakaian untuk pergi ke mana? Ada tema pakaian pergi baralek batagak panghulu, pergi kawin atau pakaian harian. Ini tidak dibedakan, harusnya dijelaskan. Makanya ada tadi pakaian anak daro, tapi tidak memakai sunting. Padahal anak daro itu memakai sunting, hanya pakaiannya saja yang dipakai,” ucapnya.
“Saya sudah menulis buku 406 macam pakaian adat dan pakaian pengantin. Diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Sumbar. Buku ini menjelaskan dan memahami baju kuruang basiba. Baju kurung basiba ini memiliki makna bermacam. Ini indetitas perempuan Minang,” tegasnya. (fan)















