MENGENANG– Kolonel (Purn) Amir Syarifuddin, Kamis (13/8), di kantor Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Sumbar, Jalan Veteran No. 2A, Padang, Amir bercerita tentang karirnya sebagai seorang prajurit, dan telah bertempur sebanyak empat kali. (dede prandana/posmetropadang)
MENGINJAK usia 76 tahun, Kolonel (Purn) Amir Syarifuddin masih terlihat segar dan semangat. Apalagi jika ia bercerita tentang kisah heroiknya saat masih aktif menjadi tentara dan bertempur mempertahankan kemerdekaan, tidak terlihat bahwa ia telah berusia senja.
Dede Prandana Putra–VETERAN
Saat POSMETRO mewawancarai alumni Akademi Militer Nasional (sekarang bernama Akademi Militer) angkatan 1961 ini, Kamis (13/8), di kantor Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Sumbar, Jalan Veteran No. 2A, Padang, Amir bercerita bahwa sepanjang karir sebagai seorang prajurit, ia telah bertempur sebanyak empat kali.
”Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1966 ketika terjadi pemberontak PKI di Jawa Tengah, setelah itu ikut menumpas gerakan NII Sanusi Darwis di Sulawesi Selatan pada tahun 1970, lalu dilanjutkan dengan pertempuran menghadapi OPM (Operasi Papua Merdeka) Laudrike Mandacan atau negara boneka Papua tahun 1968, terakhir pada tahun 1975 ketika saya diterjunkan dalam pertempuran di Dili, Timor Timor,” katanya berapi-api.
Amir menambahkan selama di medan perang telah banyak pengalaman yang ia petik. Baik itu pengalaman pahit atau pun manis. Saat berbincang kemarin, ia hanya bersedia mengisahkan pengalaman manis, dengan alasan kemanusiaan ia tidak mau berbagi cerita pengalaman pahit selama berperang mengangkat senjata.
”Pengalaman manis yang tidak pernah saya lupakan adalah ketika saya bertugas di Papua atau dulu Irian Barat dimana kesejahteraan prajurit sangat diperhatikan,” ujarnya. Ia menambahkan selama bertugas di Irian Barat, ia mendapatkan tunjangan sebesar Rp7.000 atau 3x lipat dari jumlah gajinya saat itu.
Selama menjalani karier di militer, Amir telah bertugas diberbagai tempat. Diawali ketika menamatkan pendidikan AMN, ia bertugas di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan selama empat tahun, yakni sejak tahun 1966-1970 dengan jabatan terakhir sebagai komandan kompi (Danpi). Setelah itu ia dipindahkan ke Komando Daerah Militer (Kodam) Diponegoro, Semarang selama tujuh tahun yang dimulai sejak tahun 1970 hingga 1977 dengan jabatan terakhir sebagai komandan batalyon (Danyon).
Setelah tujuh tahun bertugas di Kodam Diponegoro, ia dipindah tugaskan menjadi pasukan Kostrad dan tercatat sebagai pasukan pertama di Jawa Tengah selama 17 tahun, yaitu dari tahun 1977 sampai dengan 1994. Seharusnya ia telah pensiun pada tahun 1994, namun diperpanjang oleh Panglima ABRI selama tiga tahun.
”Alasannya ketika masa pensiun saya diperpanjang karena saya punya keahlian khusus, yakni sebagai inspektur, jadi selama tiga tahun tersebut saya bertugas sebagai Inspektur Stabilitas Nasional yang dimulai dari Sulawesi Selatan dan Tenggara dan berakhir di Sumbar hingga saya resmi pensiun dari prajurit pada tahun 1997,” kenang prajurit yang sempat menjalani pendidikan Sekolah Staf dan Komando (Sesko) pada tahun 1978 di Bandung ini.
Memasuki usia kemerdekaan yang ke-70, Wakil Ketua I LVRI Sumbar ini dengan lantang mengatakan bahwa kemerdekaan yang diraih bukan karena hadiah dari para penjajah, namun diraih melalui perjuangan dan pengorbanan seluruh masyarakat Indonesia. ”Kemerdekaan itu bukanlah hadiah, tapi murni karena seluruh elemen masyarakat bersatu dan mengorbankan diri, harta, dan keluarganya untuk mencapai kemerdekaan,” tegasnya.
Namun, sekarang ini diusia yang ke-70 perjuangan yang dilakukan oleh para pahlawan tidak lagi terwarisi oleh generasi sekarang. ”Generasi sekarang hanya mengisi dan mempertahankan kemerdekaan, tapi mereka mengisi itu dengan melupakan nilai-nilai nasionalisme seperti nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika,” tuturnya.
Ketika disinggung masalah nasionalisme yang ada pada generasi muda saat ini, ia berkata jika nasionalisme generasi muda sekarang telah tergerus oleh arus globalisasi. “Padahal globalisasi itu tujuannya adalah untuk menyatukan dan menyeragamkan seluruh dunia, Indonesia belum bisa kita satukan dengan negara lain karena berbagai faktor, salah satunya adalah kualitas sumber daya manusia kita yang tidak bisa untuk disejajarkan dengan negara maju,” terangnya.
Dalam memaknai perayaan hari kemerdekaan, Amir berpendapat bahwa saat ini yang kita lakukan adalah tidak hanya sekedar acara seremonial belaka, namun harus selalu dihormati dengan cara mengingat kembali perjuangan para pahlawan. ”Cara mengingat perjuangan para pahlawan adalah dengan untuk menjaga kelestarian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika,” tutupnya. (**)
Komentar