Ia menceritakan, panjang dua terowongan berbeda-beda, Satu terowongan memiliki panjang sekitar 20 meter, sedangkan satu terowongan lagi lebih dari 100 meter.
“Terowongan kedua ini kondisinya gelap dan sudah digenangi banyak air sehingga sulit dimasuki,” kata Nasjuneri.
Pembangunan rel kereta api ini, tuturnya, Jepang menggunakan tenaga kerja romusha dari Pulau Jawa, tawanan perang dari orang-orang Barat, serta dari beberapa daerah di Indonesia.
Contohnya, tawanan perang warga Belanda, waktu itu, dijadikan teknisi menyelesaikan pembangunan rel kereta api ini. Semula Jepang membangun rel kereta api tersebut untuk mengangkut batubara, sebagai bahan bakar menghadapi Perang Dunia II.
Batubara diangkut diambil dari Kota Sawahlunto, kemudian diangkut dan dikumpulkan di Muaro, Sijunjung. Setelah itu, dibawa menyusuri kaki Bukit Barisan dan Batang Kuantan, Singingi dan Batang Kampar, sebelum akhirnya berhenti di tepian Sungai Siak, di Kota Pekanbaru Riau.
“Pembangunan rel kereta api ini tujuannya membawa batubara menuju Singapura. Batubara ini dijadikan energi membantu Jepang memenangkan Perang Dunia II hadapi Tentara Sekutu,” kata Osvian.
Jepang kala itu, sempat membangun kamp di Desa Koto Kombu, Kecamatan Hulu Kuantan, tepatnya di pangkal jembatan, sekarang menghubungkan Koto Kombu dan Lubuk Ambacang.
Nasjuneri menimpali, dari keterangan Jammie, Jepang kala itu berpikiran, apabila batubara dibawa menuju Teluk Bayur, Padang, maka akan jauh memutar menuju Singapura.
Maka untuk memperpendek jarak, tuturnya, dibukalah jalur kereta api, dari Muaro Sijunjung-Pekanbaru. Batubara ini rencana diangkut ke Pekanbaru, selanjutnya dibawa menuju Singapura menggunakan kapal menghiliri Sungai Siak bermuara Selat Malaka.
Dari hasil temuan kemarin, kata Nasjuneri, ditemukan beberapa pondasi yang dibangun untuk dijadikan bantalan rel kereta api mulai dari Koto Kombu hingga daerah perbatasan Sumatera Barat.
“Setiap empat meter ada pondasi kita temukan dibangun, diduga ini digunakan untuk bantalan rel kereta api,” ujarnya.
Selain pondasi untuk bantalan rel, juga kita temukan pondasi untuk jembatan rel di muara-muara sungai kecil sepanjang aliran Batang Kuantan.
Bantalan untuk rel kereta api ini dibangun karena kondisi tanah dari Koto Kombu menuju Muaro, Sijunjung, labil dan mudah longsor. Sehingga Jepang membangun bantalan ini agar rel kereta api tidak mudah longsor.
Rel kereta api ini tidak sempat dimanfaatkan oleh Jepang mengangkut batubara, karena kalah perang. Semua tentara Jepang waktu itu, baik di Muara Sijunjung dan Kuansing, diangkut menggunakan kereta api menuju Pekanbaru. Semua tentara Jepang dikumpulkan di Pekanbaru.
“Mereka tidak sempat memanfaatkan rel kereta api ini untuk mengangkat batubara, karena kalah perang dan semua tentara dipulangkan dari Pekanbaru menuju Singapura,” katanya.
Tentara Jepang selain memiliki kamp di Desa Koto Kombu, juga memiliki kamp di Sijunjung. Dari keterangan Jammie, tuturnya, dulu ada lokomotif bekas Jepang ditinggal berada di seberang Desa Sungai Alah.
Namun setelah dicek ke lokasi, ternyata lokomotif tersebut tidak ada lagi. “Lokomotif itu katanya berada tidak jauh dari sumber air panas, setelah dicek sudah tidak ada,” katanya. (*)














