Krematorium di kawasan Pondok, Kota Padang.
PADANG, METRO–Puluhan jamaah Masjid Muhammadan melakukan aksi penolakan krematorium – tempat pembakaran mayat – milik Himpunan Bersatu Teguh (HBT), yang ada di tengah pemukiman, Jalan Pasar Borong III, Kelurahan Batang Harau, Kecamatan Padang Selatan, Rabu (11/11). Unjuk rasa sempat panas karena pembakaran mayat tetap dilakukan dan polisi melakukan proteksi terhadap proses pembakaran.
“Pindahkan krematorium. Hanya itu yang kami minta. Tak lebih. Jangan dipaksakan seperti ini,” teriak para pengunjuk rasa yang tidak bisa menerima keberadaan lokasi pembakaran mayat yang ada di tengah pemukiman mereka.
Orator aksi, Wak Hamzah mengatakan, keberadaan krematorium saat ini tidak layak. ”Pindahkan ke lokasi yang lebih layak, hanya itu permintaan kami, persoalan selesai. Kami bukannya tidak menghargai prosesi, tapi tolong jangan di sini. Bertentangan dengan peraturan yang ada,” ungkap Wak Hamzah.
Melihat warga sudah mulai berkumpul, sejumlah personil kepolisian yang sudah stanby di depan Polsekta Padang Selatan langsung bergeser ke arah warga yang sudah mulai mendekati tempat krematorium. Para pengunjuk rasa sempat emosi, sebelum akhirnya bisa diredam oleh petugas yang melakukan pengamanan. Mediasi sempat dilakukan warga dengan Wakapolresta Padang AKBP Chairul Azis yang memang bersiaga untuk pengamanan. Hingga puluhan warga itu membubarkan diri.
Wakapolresta Padang AKBP Chairul Azis menuturkan, hasil mediasi memang masyarakat tetap menolak keberadaan krematoriun di lokasi tersebut.
“Itu yang menjadi permasalahan. Kata warga, izinnya itu di Jalan Klenteng, bukan di Jalan Pasar Borong III. Kepolisian berupaya menjadi penengah dan melakukan mediasi antara kedua belah pihak,” ungkap Chairul Azis.
Sementara, Tuako HBT Andreas Sofiandi tak terlalu mengomentari aksi unjuk rasa. Menurutnya, krematorium adalah kebutuhan masyarakat, karena dalam agamanya, diperbolehkan memilih untuk dimakamkan atau dikremasi. ”Cara sekarang ini sudah mutakhir, tak pakai kayu dan minyak tanah lagi seperti yang di Bunguih. Itu tidak manusiawi,” ungkapnya.
Andreas mengakui pihaknya menyadari saat ini tanah pemakaman semakin sulit dan mahal, sehingga etnis tionghoa lebih banyak memilih untuk dikremasi. Atas dasar itu, pihaknya kemudian melakukan studi banding ke negara maju, Hongkong, Singapura, Malaysia.
”Selain melakukan perbandingan dengan negara lain, kita juga melakukan pebandingan ke Jakarta, dan kami turut mengundang Wali Kota, Dinas Perizinan, Dinas Sosial, dan SKPD lainnya. Setelah dilihat langsung, krematorium di Jakarta tidak jauh dari rumah Gubernur Ahok dan juga dekat dengan Masjid Istiqlal,” sebut Andreas.
Menurut Andreas, pendirian krematorium atas dasar kebutuhan sosial. ”Kami adalah perkumpulan sosial. Kami tidak komersial, kami tidak cari uang dengan membakar jenazah di sini. Beda dengan kota-kota besar lain, itu dikomersilkan,” ujar Andreas. (r)
Komentar