PADANG, METRO – Pemprov Sumbar melalui Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (Distapahorbun) Sumbar akhirnya memutuskan tidak lagi melakukan penanaman kedelai. Kepastian itu menyusul sejumlah kendala yang dihadapi. Salah satunya, mahalnya bibit kedelai yang mencapai Rp15 ribu perkilogram (kg).
Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Sumbar, Candra mengatakan, cukup banyak kendala di lapangan, saat berupaya melakukan penanaman kedelai. Salah satunya, mahalnya bibit kedelai yang mencapai Rp15 ribu perkilogram, pemeliharaan dan lainnya. Akibatnya, semangat petani menanam kedelai menjadi kendor.
“Awalnya kita telah memulai gerakan menanam kedelai, melalui pajele (padi, jagung dan kedelai). Setelah dijalani, ternyata bibitnya cukup mahal, dan biaya pemeliharaan cukup tinggi. Akibatnya, kini lahan yang dulu sempat ditanami kedelai, ada yang beralih bertanam jagung,” kata Candra, Senin (17/6).
Candra menjelaskan, satu kilogram bibit kedelai seharga Rp15 ribu hanya bisa memenuhi lahan seluas 40 meter. Bila dikalkulasikan untuk satu haktare lahan, kurang lebih bisa menghabiskan 25 kilogram bibit kedelai. Artinya, uang yang harus dikeluarkan untuk satu haktare mencapai Rp375 ribu. Sementara, satu orang petani memiliki minimal dua haktare lahan kedelai.
Selain harga bibit yang terbilang mahal, biaya perawatan untuk bertani kedelai juga terbilang cukup rumit. Karena tanaman kedelai sangat rentan diserang hama yang mengakibatkan buah kedelai bercak-bercak hitam.
Cara untuk mengantisipasi hama itu, perlu dilakukan penyemprotan secara teratur, melihat dari kondisi tanamannya. Kondisi ini akan semakin parah, bila cuaca hujan sering melanda. Belum lagi untuk biaya panennya.
“Sebenarnya untuk meminamalisir biaya panen itu, telah kita bantu alat mesin perontokannya melalui kelompok tani. Tapi petani masih memilih cara tradasional, akibatnya cukup banyak tenaga yang dikerahkan dan membuat pengeluaran dana yang cukup besar,” ujar Candra.
Di Sumbar, mata Candra, daerah yang disebut cukup luas bertanam kedelai, dulu tersebar di Kabupaten Agam, Pasaman Barat, Sijunjung, Dharmasaraya, dan Kabupaten Pesisir Selatan. Untuk masing-masing daerah itu, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan telah menyerahkan bantuan alat mesin untuk panen kadelai sebanyak 100 unit melalui kelompok tani. Ternyata, bantuan tersebut tidak benar-benar membantu petani kedelai.
Menurut Candra, dengan tidak ada lagi penanaman kedelai di Sumbar, terhitung tahun 2019 ini, merupakan langkah yang cukup sulit diambil oleh Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan. Karena pada umumnya, kedelai cukup banyak diminati di daerah Sumbar, terutama untuk menjalankan usaha pembuatan tahu dan tempe.
“Soal pasar kedelai di daerah Sumbar ini, sebenarnya sangat bagus. Ya itu lagi, untuk memproduk kedelai itu biayanya cukup mahal. Jika dihitung-hitung, petani hanya untung sedikit dari biaya yang telah dikeluarkan. Kalau bicara masa panen, untuk kedelai setelah 100 hari tanam sudah bisa panen. Biasanya untuk 25 kilogram bibit itu, bisa memproduksi 1,5 ton kedelai,” jelas Candra.
Candra menyebutkan, produksi kedelai di Sumbar saat ini masih tergolong rendah, yakni berkisar 1,15 hingga 1,32 ton per haktare, dengan luas tananam berflutuasi sangat signifikan sekitar 296 hektare, dengan produksi 1,19 ton per haktare, yang dibandingkan luar negeri 2,3 -3 ton per haktare.
Sementara untuk kebutuhan kedelai di Sumbar, menurut Candra, saat ini terbilang cukup tinggi. Dari produksi 241,05 ton per bulan atau 2.892,6 ton per tahun. Untuk menutupi kebutuhan kedelai Sumbar, pemerintah mendatangkan kedelai dari Jambi, Riau dan Medan.
“Tingginya kebutuhan kedelai di Sumbar, karena ada 18 industri pengolahan kedelai yang bergerak untuk membuat tahu dan tempe. Sekarang, dengan tidak lagi melakukan penanaman kedelai, 18 industri itu harus membeli kedelai ke berbagai daerah melalui agen yang ada di Padang,” tegasnya. (mil)


















