PADANG, METRO – Film berjudul “Kucumbu Tubuh Indahku” menjadi polemik di tengah masyarakat, sejak heboh di media sosial (medsos) beberapa waktu lalu. Banyaknya petisi penolakan terhadap pemutaran film ini, karena dianggap membawa misi LGBT di Indonesia.
Sutradara film ini, Garin Nugroho menjawab secara blak-blakan terkait polemik atas karya filmnya itu saat berkunjung ke Ladang Tari Nan, Balai Baru Padang, Kamis (2/5).
Pada kegiatan diskusi dan nonton bareng film karyanya berjudul “Nyai”, malam itu, Garin Nugroho menegaskan, dirinya merasa tidak bersalah dengan isu yang sangat penting dalam film berjudul Kucumbu Tubuh Indahku karyanya tersebut.
Menurutnya, film tersebut menyampaikan tentang trauma tubuh dan bangsa, berjalan seiring perjalanan waktu. Garin menilai, sering trauma ini, disembunyikan dan jika dibiarkan akan meledak.
“Akibat trauma ini disembunyikan, kita tidak lahir kembali. Saya ingin menceritakan trauma tubuh ini. LGBT adalah sesuatu yang telah ditutup-tutupi, hingga menghasilkan trauma yang berjalan seiring masa. Dan trauma itu akan meledak jika tidak ditranformasikan,” terangnya.
Garin menilai, film karyanya tersebut menjadi polemik di tengah masyarakat, karena terkait dengan kondisi masyarakat saat ini. Pertama, masyarakat dihadapkan pada Pemilu 2019. Kondisi lainnya, masyarakat dihadapkan pada euforia medsos dan politik identitas.
Masyarakat melakukan kekerasan akibat terancam. Hal yang kecil sekalipun bisa menjadi ancaman. Seluruh negara di dunia saat ini mengalami ancaman. “Suku dan agama terancam. Termasuk LGBT ancaman yang akan menjadi besar,” terangnya.
Garin menilai, film menjadi terlalu berat oleh beban moral. Padahal, film merupakan seni untuk meletakkan kenyataan.
“Dalam sejarah, di Zaman Belanda, film karya Belanda tidak bisa masuk ke Indonesia, sehingga tradisi kita menjadi tradisi fiksi dan hasil propaganda Jepang. Di mana film yang dilahirkan waktu itu hanya menyampaikan sebuah contoh yang baik dan norma-norma. Tapi, di Zaman Soeharto, muncul propaganda. Film harus jadi panduan moral. Inilah menjadi beban moral. Karya seni bukanlah menjadi moralitas yang harus diikuti oleh penontonnya.” terangnya.
Film menurutnya, diberi beban berat yang seharusnya bukan beban dia (film-red). Politik identitas membuat masyarakat berkelompok, mengajak orang lain untuk bergabung dalam kelompoknya. Saat ini, merupakan zaman post-trut, di mana kebohongan menjadi sebuah pembenaran. Puncaknya, industri yang berbasis rating dan follower menemukan masanya yang tidak bermutu, karena tidak beretika.
Garin menyayangkan sikap masyarakat yang memakai politik identitas sebagai pembentengan diri dalam membenci film ini. Selain itu, seringnya masyarakat melihat tayangan propaganda-propaganda palsu di televisi telah melahirkan petisi penolakan terhadap film ini.
“Cukup sudah menyebarkan propaganda-propaganda palsu di tengah masyarakat dan menjadikan kebohongan menjadi pembenaran. Dalam film ini saya ingin menceritakan kondisi riil yang sebenarnya yang ada di Indonesia,” tegasnya.
Masyarakat saat ini mengonsumsi politik dan berita serba konflik yang emosional. Sementara, tokoh sekarang tidak banyak yang negarawan. Mereka hidup di dunia medsos yang hanya bisa menyampaikan pemikirannya secara pendek. Sehingga, negara tidak punya pemikir yang dalam dan bersahaja. “Termasuk ulama bersahaja, yang hilang di medsos,” terangnya.
Garin menegaskan isu yang disampaikan dalam film karyanya menjadi keras. Jika dibiarkan keras, maka masanya menjadi rendah dan brutal. Padahal, Garin menegaskan, film karyanya itu telah lulus sensor. Garin pun menceritakan, bahwa dulu pernah ada film berjudul “Pergaulan Bebas” di era tahun 1980. Masyarakat waktu itu protes dan minta film diturunkan.
Padahal, film telah lolos sensor. Garin mengingatkan, jika ada masyarakat yang dirugikan oleh badan sensor, segera saja bawa ke pengadilan. “Tidak ada yang menghakimi sutradara dan penciptanya. Hormatilah institusi penegak hukum,” tegasnya.
Film Kucumbu Tubuh Indahku menceritakan tentang perjalanan hidup Juno, sejak kecil hingga dewasa menjadi penari, di sebuah desa di Jawa, yang terkenal sebagai desa penari lengger lanang, jenis tarian perempuan yang dibawakan penari laki-laki. Para penari Lengger diharuskan meleburkan sisi maskulin dan feminin dalam satu tubuh.
Namun, perjalanan Juno dan pencarian makna dalam tubuh sekaligus hidupnya tak mudah. Ia diharuskan pindah dari satu desa ke desa lainnya, karena banyaknya kekerasan yang muncul. Keadaan ini membikin Juno kian terasing, di tengah kesepian yang sedang berusaha ia usir jauh-jauh.
Kehidupan Juno kecil adalah kehidupan peleburan tubuh maskulin dan feminin yang terbentuk alami oleh kehidupan desa dan keluarganya. Namun perjalanan hidupnya selanjutnya adalah perjalanan kehidupan penuh trauma kekerasan tubuh.
Trauma kekerasan politik yang dialami ayahnya menjadikan Juno hidup sendiri . Kehidupan masa kecil Juno serba sendiri di desa miskin menjadikan dirinya menjadi ibu dan bapak bagi kehidupannya. Juno dalam kesendirian melihat banyak kekerasan yang muncul di sekitarnya. (fan)
Komentar