KOTA Padang, ibu kota Provinsi Sumatera Barat, dikenal luas dengan keindahan alamnya yang memukau. Garis pantainya yang panjang, panorama Gunung Padang, serta kekayaan budaya Minangkabau menjadikannya salah satu destinasi wisata andalan di Pulau Sumatera. Setiap tahunnya, baik wisatawan domestik maupun mancanegara datang berbondong-bondong untuk merasakan keunikan yang ditawarkan kota ini, mulai dari wisata bahari hingga kuliner legendaris seperti rendang, soto dan sate padang.
Namun, di balik potensi yang luar biasa itu, muncul satu persoalan yang mulai meresahkan banyak pi hak, terutama para wisatawan, yaitu aksi premanisme yang dilakukan oleh oknum tukang parkir liar dan sebagian oknum warga di sekitar kawasan wisata. Fenomena ini bukan sekadar gangguan kecil, tetapi bisa berdampak besar pada kenyamanan, keamanan, bahkan citra pariwisata Kota Padang di mata publik.
Kenyamanan yang Terganggu, Citra yang Tercoreng
Laporan mengenai ulah tukang parkir liar atau preman berkedok “jasa keamanan” mulai menjadi pembicaraan serius di media sosial, forum perjalanan, bahkan dalam perbincangan di antara pelaku pariwisata. Banyak wisatawan yang mengeluh dikenai tarif parkir tidak wajar—berkisar antara Rp10.000 hingga Rp20.000 untuk sepeda motor, bahkan bisa lebih untuk mobil, tanpa adanya tiket resmi atau tanda bukti pembayaran. Jika menolak, mereka mendapat tekanan, tatapan mengintimidasi, hingga ancaman verbal, juga oknum pedagang yang terkadang suka “mamakuak” harga dagangan sesuka hati.
Beberapa kasus juga menunjukkan adanya praktik pemalakan terhadap wisatawan asing yang dianggap “mudah diperas”. Hal ini tentu bukan hanya sekadar gangguan, melainkan bentuk kejahatan yang harus ditindak tegas. Keberadaan oknum seperti ini menimbulkan ketidaknyamanan dan membuat wisatawan merasa tidak aman, bahkan sebelum mereka benar-benar menikmati tempat wisata yang ada.
Pariwisata sejatinya bukan hanya soal tempat yang indah, tetapi juga soal pengalaman. Sekali wisatawan merasa tidak nyaman, mereka akan meninggalkan review buruk, menceritakan pengalaman negatifnya, dan bisa jadi tidak akan kembali lagi. Di era digital seperti sekarang, satu unggahan viral tentang pengalaman buruk di Kota Padang bisa berdampak lebih luas daripada sekadar kehilangan satu wisatawan.
Premanisme Berkedok Warga Lokal