BELIMBING – Belakangan, Safar (45) sering murung pascapembagian kios Pasar Belimbing usai pembangunan dua bulan lalu. Pasalnya, ia tidak mendapatkan pembagian kios, walaupun pedagang lama. Pria yang dikaruniai 6 orang anak ini selalu dituntut kebutuhan sehari-hari yang tidak bisa ditawar -tawar. Selain itu juga bisa saja mengancam keberlanjutan pendidikan anaknya yang dua orang menuntut ilmu di bangku perguruan tinggi (PT).
Ditambahkan, pria ini yang merupakan putra Belimbing, Kelurahan Kuranji, Kecamatan Kuranji, tidurnya tidak nyenyak lagi belakangan. Karena, kios yang dijanjikan Pemko Padang melalui Dinas Perdagangan (Disdag) belum terealisasi. Sementara, rekan -rekannya yang sama-sama dijanjikan Disdag sudah mendapatkan jatah. Sehingga mereka sudah berjualan di kios yang permanen yang terjaga keamanan barang dagangannya.
“Bahkan ironinya, mereka ada yang tidak memiliki kios selama ini di Pasar Tradisional Belimbing hanya berjualan di emperan kios orang, ternyata mendapatkan pembagian jatah kios,” ungkap Safar kepada POSMETRO, Minggu (3/3).
Pria yang merupakan suami dari Farida (43) ini merupakan salah seorang dari 40 pedagang pribumi yang belum mendapatkan jatah kios. Sementara pria ini sudah berjualan di pasar tradisional ini sejak 1993 silam.
Bahkan, sebelum 1993, ia juga berjualan, namun hanya menggelar dagangan di emperan kios orang di pasar yang berada Padang Pinggiran Kota (Papiko) tersebut. Pria ini sehari hari berjualan sayur- mayur, telur dan kebutuhan dapur.
Padahal sebelumnya, ketika Pasar Belimbing ini akan dilakukan revitalisasi, ia didatangi petugas dari Dinas Perdagangan. Petugas Disdag Padang yang akrab dipanggil Pak Zul itu mendatangi Safar di kiosnya yang berada di kios Inspres pada tahun 2018 lalu.
Ia disuruh segera pindah ke lokasi penampungan lokasi berjualan yang berada di pinggiran jalan. Dengan alasan jika cepat pindah ke penampungan dan segera pasar dibangun dan pembangunan tuntas juga segera pindah ke kios yang bangun.
Namun ungkapnya, sekarang kenyataannya jauh dari harapan yang dijanjikan OPD terkait tersebut. “Ternyata pemerintah wan prestasi alias ingkar janji,” ujar Safar.
Ketika ia menagih janji kepada petugas Dinas Perdagangan itu, lagi -lagi ia dijanjikan. Ia diminta bersabar kembali karena Pemko Padang bakal membangunkan kios baru lagi dengan dana APBD 2019 ini. Dengan janji-janji tersebut, spontan saja ia komplain. Sedangkan janji yang lama tidak ada kenyataan, lalu ditambah dengan janji yang baru.
Sebab menurutnya, ia jelas putra pribumi yang sekaligus pedagang lama. Ia tidak menyangkal ada indikasi terjadinya permainan dan kongkalingkong dalam pembagian kios. Kenapa tidak, selama ini ada yang berjualan menggelar dagangan di emperan kios, lalu tiba-tiba mereka mendapatkan kios. Ada pula yang hanya bermodalan tubuh dan pangkal lengan bergambar (tato-red) juga mendapatkan kios.
“Sementara saya yang benar-benar sudah berjualan lebih kurang 26 tahun di sini, tidak mendapatkan jatah kios untuk berjualan,” tambah Safar, dengan nada kesal.
Sekarang Safar secara psikologis mengaku marah bercampur sedih dan kesal karena tidak mendapatkan jatah pembagian kios. Sementara, kemana ia mau mengadu sementara pemerintah melalui OPD-nya betul mendata dan memperioritaskan pedagang lama. Tapi sekarang kenyataan tidak, dia tersingkir dari pembangian walaupun ada tim mediasi. Ia menilai, tim mediasi mementingkan kepentingan kelompoknya saja.
Sedangkan di satu sisi, tuntutan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya juga tidak bisa ditawar-tawar. Apalagi dua anaknya sedang bersitungkin di bangku kuliah. Kalau tidak ada kios, terbayang bagaimana ia melanjutkan pendidikan anak anaknya di kemudan hari. Selain itu, anaknya juga ada yang duduk di bangku SMA dan SD.
Yakni yang sulung di UBH, nomor dua STKIP, sedangkan anak yang ketiga tamatan SMA nganggur lalu membantu Safar di pasar. Lalu, yang keempat duduk di SMA satu orang, SD kelas 5 dan yang kecil belum msuk sekolah.
Maka untuk kebutuhan sekolah anaknya, ia harus merogoh kantong senilai Rp250 ribu setiap hari. Kemudian jika ditambah kebutuhan dapur sehari hari, maka pria ini harus merogoh kocek Rp300 ribu perhari.
Saat ini untuk memenuhi kebutuhan sehari hari ia terpaksa berjualan di bekas penampungan yang kurang layak untuk berjualan lagi. Sebab, ketika hujan turun, lokasi tersebut banjir otomatis berdampak terhadap omzetnya.
Kemudian secara keamanan dan kenyaman untuk berjualan juga tidak menjamin. Ia mengharapkan pemerintah mendengarkan keluhannya. Idealnya, soal pembagian dinol kilomteerkan kembali, kemudian baru dilakukan pembagian ulang kembali.
Hal yang sama juga dilontarkan, Tina (67) perempuan ini juga tidak mendapatkan jatah kiosnya. Ia juga termasuk salah seorang dari 40 pedagang tidak kebagian mendapatkan kios pascatuntas revitalisasi pembangunan Pasar Belimbing 2018 lalu.
Sekarang ia terpaksa berjualan di pinggiran jalan dengan palet yang berukuran semeter lebih dan berteduhkan payung. (***)