Seorang guru berdiri di atas shelter di SMAN1 Padang di Lolong Belanti.
PADANG, METRO–TOKOH masyarakat Pondok yang juga Ketua HTT, Feryanto Gani menyebutkan, enam tahun pascagempa, langkah mitigasi yang dilakukan Pemko Padang masih stagnan alias jalan di tempat. Hal iti dibuktikan dengan tidak adanya pertambahan jalur evakusi dan shelter.
”Mana ada shelter yang baru, jalur evakuasi juga tak bertambah. Semuanya masih jalan di tempat,” ujar Feryanto Gani, Selasa (29/9).
Akibat lambanya mitigasi yang dilakukan, hingga kini warga etnis Thionghoa yang sebelumnya sempat eksodus ke Pekanbaru masih belum kembali dan tetap bertahan di sana. Mereka yang sudah eksodus hingga kini belum ada yang pulang. Jumlahnya, kata Feryanto Gani mencapai 7 persen dari total komunitas etnis Tionghoa di kawasan Pondok.
”Sampai sekarang masih ada yang belum kembali,” ungkap owner Elang Perkasa Motor ini.
Saat ini, menurut Feryanto, warga masih tetap waspada dengan kemungkinan terjadinya bencana gempa dan tsunami. Dengan peringatan gempa 30 September ini, ia berharap Pemko Padang kembali mengoptimalkan lagi langkah mitigasi bencana. Sehingga ketika bencana terjadi masyarakat lebih siap dan jumlah korban dapat diminimalisir.
Untuk evakuasi, warga memang menggantungkan harapan pada keberadaan Gunung Padang. Mereka berharap pada saat dihoyak gempa dan berpotensi tsunami mereka berharap bisa lari ke sana. Namun hingga kini akses jembatan ke Gunung Padang masih minim. Sehingga menyulitkan warga ketika melakukan evakuasi. Ia berharap Pemko lebih serius lagi dalam menyusun dan menjalankan langkah-langkah mitigasi.
Selain Gunung Padang, diharap akses jalan menuju Solok juga menjadi perhatian pemerinta untuk diperlebar. Karena biasanya, pada saat gempa, warga berupaya mencari selamat dengan pergi ke arah zona hijau seperti Solok. ”Kalau dapat akses ke Solok diperbaiki lagi. Sehingga lebih siap dijadikan sebagai jalur evakuasi tsunami,” ujar Feryanto Gani.
Belum Diketahui
Sementara itu, dua shelter yang dibangun di SMAN 1 dan SMKN 5 di kawasan Belanti, dan Lolong, Kecamatan Padang Utara tidak banyak diketahui oleh warga kota. Keberadaan dua shelter di sana hanya disosialisasikan kepada siswa yang belajar di sekolah tersebut dan warga sekitar.
Salah seorang warga, Wati (63) mengaku tidak mengetahui bahwa didekat pemukimannya ada shelter tempat menyelamatkan diri jika terjadi gempa. ”Kalau masalah shelter itu saya tidak mengetahuinya, lebih baik Tanya saja sama siswa di sana pasti mereka tahu,” ujar Wati, Selasa (29/9).
Sementara beberapa warga lain yang ditemui POSMETRO, juga mengakui bahwa mereka tidak mengetahui bahwa adanya shelter di kawasan tempat tinggal mereka. ”Saya tidak mengetahui kalau ada shelter di sana. Kalau terjadi gempa yang berpotensi tsunami, saya lari saja,” ujar warga lainnya, Rahman.
Kepala SMAN 1 Padang Nukman, mengaku bahwa ia telah memberikan sosialisasi kepada siswa dan merencanakan melakukan simulasi mini. ”Untuk sosialisasi dilaksanakan setiap 6 bulan sekali. Kepada seluruh siswa kita memberitahukan, jika terjadi gempa besar segera menuju lantai empat,” ujar Nukman. Sementara bangunan dari lantai 1 hingga lantai 3 digunakan sebagai ruangan untuk proses belajar mengajar.
Dengan adanya sosialisasi kepada siswa, Nukman berharap agar bisa meminimalisir korban jiwa saat terjadinya bencana. ”Khusus shelter tidak dikunci dan terbuka pada pintu samping kanan dan kiri, sementara untuk kunci gerbang sendiri kita tidak memakai kunci yang keras, kuncinya bisa didobrak saja,” lanjutnya. (tin/cr10)