Milna Miana – SIMPANG HARU
Tugu itu dibangun pada tahun 1991 berbentuk menyerupai lidah api dihiasi relief. Didirikan demi mengenang jasa para pahlawan yang bertaruh nyawa mempertahankan kemerdekaan. Ribuan orang mati di situ, dihujani peluru kompeni.
Bagi Faisal Kasim, seorang Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI), Sumbar. Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November itu sarat dengan pesan. Kegelapan itu adalah pesan betapa susahnya kemerdekaan itu diraih dan juga dipertahankan. Meski susah semangat harus dinyalakan. Dan Sumbar sudah membuktikannya.
Peperangan di Minang adalah salah satu titik terpenting dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perang itu melibatkan seluruh lapisan. Para pemuda dari berbagai daerah dan warga Padang bahu membahu menghadapi pasukan asing yang bersenjata lengkap.
Faisal Kasim, satu dari ribuan veteran yang mengibarkan kobaran semangat perang. Seruan berperang dengan tangan kosong adalah hulu dari segenap semangat itu. Dan itu memang dirancang secara matang. Dari usia remaja, Faisal kecil sudah bergabung dengan pasukan sipil bernama Salsabila. Pasukan ini membantu pasukan tentara nasional di daerah Pandai Sikek.
Pada tahun 1946-1947 silam, suasana perang masih terjadi di sejumlah kota, termasuk di Padang dan Lubuk Alung Pariaman yang kian memanas. Insiden-insiden kecil mewarnai keserakahan Belanda secara diam-diam itu. Kesabaran tentara, termasuk Faisal sudah sampai di titik nadir.
Saat 1948-1949, pergolakan menjalar di seluruh daerah Sumbar. Ketika itu, Faisal telah bergabung dengan Pasukan Mobil Tras (PMT). Amarah yang telah lama ia tahan akhirnya pecah. Pilihan mati dengan imbalan surga telah melayang dalam benak Faisal bahkan setiap kawan-kawannya.
Tanpa kenal lelah, para pejuang semakin mengobarkan semangat juang. Namun, dalam peristiwa itu, dua temannya Bagindo Baro dan Sebastian harus menghadapi semangat yang tak terbayangkan itu. Tangan kosong tak mampu jadi pelindung. Teman-temannya meregang nyawa akibat dihujami pisau sangkur yang diletakkan di ujung senjata laras panjang secara berulang kali oleh tentara Belanda.
“Awalnya mereka mencoba kabur, Belanda melihat mereka dan langsung menembak. Namun saat itu keduanya tidak mati, mereka masih hidup. Mereka mendatangi kedua pasukan kita itu, langsung menusuk-nusuk tubuh mereka dengan pisau bayonet yang letakkan di kepala senjata itu, saya melihat langsung. Kemudian jenasahnya mereka seret dan buang ke jurang sedalam 10 meter,” kenang Faisal kepada POSMETRO.
Diakhir tahun 1949 kenang Faisal, Belanda benar-benar mengamuk, setelah pasukan Indonesia menyerang markasnya di Padang Panjang. Keesokan harinya mereka datang ke Pandai Sikek mencari pasukan gerilya itu, namun mereka tidak dapat. “Iya kita sudah membaur dengan masyarakat, barulah pada malam hari kita gabung dengan pasukan,” sebutnya.
Faisal mengungkapkan, karena tidak mendapatkan pasukan itu, Belanda membakar rumah penduduk. Ada 100 unit lebih rumah gadang mereka bakar. Dalam peristiwa itu kembali dua temannya ikut meninggal setelah pasukan Belanda melempar mereka di tengah lautan api.
“Saya melihat jelas yang mereka lakukan, ada dua orang teman saya mereka lemparkan dalam api, tapi saya tidak tahu lagi namanya. Setelah Belanda pergi, kami mencari jasad temanku yang mereka bakar, jangan tubuhnya tulangnya saja tidak ditemukan, semuanya sudah hangus,” tuturnya. (mil)


















