Pakar Psikologi Minta Presiden Keluarkan Executive Order untuk Polri

Ilustrasi--Presiden Joko Widodo di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. (Setpres)

JAKARTA, METRO–Penyesalan sekaligus permintaan maaf memang penting. Berbeda dengan urusan pidana dan etik yang barangkali akan selesai beberapa pekan atau beberapa bulan, luka batin masyarakat pasti akan menganga dalam waktu yang sangat lama.

“Nah, ketika polisi di Polresta Malang Kota bersujud sedemikian rupa, semoga ini bisa meyakinkan publik bahwa polisi sungguh-sungguh ingin memberikan penawar atas luka itu,” papar pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menanggapi aksi personel Polresta Malang.

Tapi menurut dia, apologi tanpa akuntabilitas jelas tak banyak bermanfaat. Seperti halnya frasa reformasi kepolisian. “Sudah membahana sejak puluhan tahun silam, dan digemakan lagi hari-hari belakangan ini, tapi bagaimana reformasi itu akan dilakukan? Entahlah,” ucap Reza.

Yang jelas, lanjut dia, Polri malah terkesan bergerak ke paramiliteristik. Seragam loreng mirip tentara adalah contohnya. Jadi, alih-alih memberlakukan seragam perang seperti itu, lebih baik polisi pakai baju berwarna terang.

“Terang mengirim pesan tenang, terbuka, santun, dan bisa didekati. Pangkat dan segala atribut disederhanakan saja. Versi gagahnya baru dipakai saat upacara,” kata Reza.

“Lebih substantif, sebetulnya saya berharap Presiden Jokowi mengeluarkan semacam executive order khusus terkait persenjataan dan prosedur penanganan massa oleh Polri. Jadi, karena perubahan mindset dan kultural butuh waktu panjang dan berliku, langkah praktisnya adalah fokus pada memaksa agar perilakunya yang berubah. Isi kepala, urusan belakangan. Perilakunya harus berubah. Mindset dan kultur akan menyusul,” ucap Reza.

Dia menjelaskan, executive order semacam itu pernah dikeluarkan Presiden Obama saat polisi di Amerika Serikat dinilai brutal laiknya organisasi paramiliteristik. Isi EO itu adalah panduan detail tentang daftar peralatan yang dilarang dan dikendalikan, kebijakan, pelatihan, dan protokol penggunaan peralatan. Selain itu, proses akuisisi peralatan, transfer, penjualan, pengembalian, dan penghancuran peralatan, serta pengawasan, kepatuhan, dan implementasi.

“Tapi saya pesimistis Jokowi akan mengeluarkan EO semacam itu. Jadi, menurut saya, Kapolri saja yang ambil langkah komprehensif dengan cakupan seluas EO Obama tadi,” tutur Reza.

Dia menambahkan, hal itu semakin penting, mengingat pada 2020 kabarnya terjadi peningkatan anggaran Polri untuk pengadaan peralatan pengendali massa, antara lain gas air mata, sebesar 14,8 juta dolar.

“Ini enam kali lebih tinggi daripada tahun sebelumnya. Ini mengindikasikan bahwa polisi sudah punya ramalan akan banyak situasi massa yang bakal dihadapi dengan cara keras,” tandas Reza.

Penggunaan cara keras itu, menurut Reza, merefleksikan derajat kesantunan (civility) personel, sekaligus mengisyaratkan tingginya legal cynicism di masyarakat. “Legal cynicism yang ditandai ketidakpatuhan masyarakat pada hukum dan keengganan masyarakat bekerja sama dengan polisi,” ujar Reza. (jpc)

Exit mobile version