JAKARTA, METRO–Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman disarankan mundur dari jabatan menyusul rencana pria kelahiran Nusa Tenggara Barat (NTB), itu menikahi adik dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), Idayati. Dorongan itu disampaikan oleh pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar.
Dia menilai pernikahan Anwar Usman dengan Idayati berpotensi memunculkan konflik kepentingan. Terlebih lagi, banyak uji materi terhadap UU yang telah dibuat pemerintah era Jokowi bersama DPR. “Jadi, sebaiknya Anwar Usman mengundurkan diri saja,” kata Fickar melalui layanan pesan, Selasa (22/3).
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jayabaya itu mengingatkan bahwa hakim MK terikat dengan etika yang nilainya lebih tinggi dibandingkan hukum positif. “Itu etika bernegara dan etika penegakan hukum. Etika itu lebih tinggi tempatnya dari hukum,” ucap Fickar. Ketua MK Anwar Usman dikabarkan bakal menikahi adik Presiden Jokowi, Idayati.
Jokowi memiliki tiga adik perempuan, salah satunya Idayati yang sudah menjanda sejak suami pertamanya, Hari Mulyono, meninggal dunia pada 2018. Beredar kabar kepulangan Presiden Jokowi ke Solo beberapa waktu lalu, salah satunya untuk menerima lamaran dari Anwar Usman kepada salah satu adiknya.
Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka sekaligus putra Jokowi membenarkan adanya rencana pernikahan itu. “Itu sudah tahu. Tanya yang bersangkutan, (jadwal pernikahan) aku ora ngerti (tidak tahu),” kata Gibran di Solo, Senin (1/3).
Refly Harun Sebut Kalau Anwar Usman Beretika, Harusnya Mundur dari Ketua MK
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai apabila Anwar Usman memiliki etika yang baik, seharusnya yang bersangkutan mundur dari jabatannya sebelum menikahi adik Presiden Jokowi, Idayati. “Kalau etika tinggi harusnya mundur, tetapi saya pesimistis. Karena bukankah jabatan sebagai Ketua MK itu sebagai daya tawar ke keluarga presiden?” kata Refly saat dihubungi, Selasa (22/3).
Refly menilai tugas seorang hakim konstitusi, seperti Anwar, sangat berat. Yang jadi persoalan, lanjut Refly, setiap orang tidak bisa menebak hati seorang hakim ketika sedang menjalankan tugasnya.
“Prinsipnya adalah kalau ada hubungan keluarga, maka hakim tidak boleh menyidangkan kasus itu. Karena dianggap tidak mungkin bisa netral. Jadi ini sudah menjadi bagian dari kode etik hakim secara universal,” kata dia.
Meski demikian, lanjut Refly, kode etik seperti itu biasanya masyarakat Indonesia sering permisif. Masyarakat Indonesia cenderung mengabaikan fakta itu apabila dianggap tidak melanggar hukum. “Etika itu derajatnya lebih tinggi daripada hukum. Orang taat pada etika itu, lebih hebat daripada orang taat pada hukum,” jelas dia. (ast/tan/jpnn)




















