JAKARTA, METRO – Pemerintah perlu meninjau ulang skema distribusi pupuk bersubdisi. Dikarenakan masih ditemukan permasalahan seputar distribusi yang dikhawatirkan mengganggu produktivitas sektor pertanian. Di mana, pupuk merupakan salah satu komponen penting didalamnya.
Pengamat pangan Arief Nugraha menjelaskan, pupuk merupakan salah satu unsur penting dalam pertanian dan digunakan untuk memaksimalkan hasil produksi petani. Dalam masa tanam, ada periode-periode tertentu bagi petani untuk menggunakan pupuk. Karena itu pupuk harus tersedia tepat pada saat masa pemupukan karena akan berdampak pada hasil produksi petani.
Beberapa masalah yang sering dialami pada pupuk bersubsidi adalah kelangkaan, keterlambatan, dan tidak tepat sasaran. Masalah-masalah itu dapat menyebabkan hasil panen tidak maksimal dan menghambat produktivitas petani.
”Masalah pada distribusi pupuk bersubsidi ini tidak jarang membuat pupuk bersubsidi tidak tersedia pada saat petani menggunakan pupuk. Hal ini membuat petani kesulitan karena mereka tidak memiliki pilihan lain. Mau tidak mau akhirnya mereka menggunakan pupuk non subsidi. Sayangnya, pupuk non subsidi memiliki perbedaan harga yang cukup jauh dengan pupuk subsidi,” paparnya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (31/1).
Pupuk bersubsidi memiliki harga jauh lebih murah dibandingkan pupuk non subsidi. Saat ini harga pupuk bersubsidi, baik Urea, NPK dan merk lain sekitar Rp 2.000 per kilogram. Sementara harga pupuk non subsidi berkisar antara Rp 8.000 hingga Rp 12.000 per kilogram. Perbedaan harga yang sangat tinggi terjadi dikarenakan pupuk non subsidi terutama yang diproduksi oleh perusahaan merupakan produk impor.
Pilihan petani menjadi terbatas karena adanya perbedaan harga. Petani yang punya modal cukup kuat masih sanggup untuk membeli pupuk non subsidi. Namun hal itu belum tentu terjadi pada petani dengan modal yang lemah, sebab mereka kesulitan membeli pupuk non subsidi dikarenakan harga yang tidak terjangkau.
”Pupuk yang disubsidi pemerintah saat ini adalah pupuk produksi dari perusahaan BUMN. Saat pupuk bersubsidi bermasalah, alternatif yang dimiliki oleh petani adalah membeli pupuk non subsidi yang diproduksi oleh BUMN maupun swasta. Sayangnya pupuk-pupuk ini tidak disubsidi oleh pemerintah dan hal ini menyebabkan harganya jauh lebih mahal dengan pupuk bersubsidi,” jelas Arief.
Salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mengubah skema distribusi pupuk bersubsidi. Skema subsidi pupuk dapat diubah agar tidak terpaku pada subsidi produk tertentu. Subsidi dapat dialihkan kepada petani melalui kartu tani yang dapat digunakan untuk membelanjakan pupuk yang selama ini termasuk dalam katagori pupuk non subsidi.
”Penerapan sistem ini akan mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk bersubsidi buatan perusahaan BUMN. Para petani dapat memiliki alternatif selain produk-produk bersubsidi buatan perusahaan pupuk BUMN untuk memenuhi kebutuhan pupuknya. Proses pemupukan tetap dapat berlangsung tanpa harus tergantung pada produk pupuk buatan BUMN,” jelas Arief yang juga peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).
Berdasarkan data Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), total konsumsi pupuk di Indonesia pada 2017 mencapai 11,1 juta ton. Rincian komposisi konsumsi adalah pupuk Urea sebesar 5,9 juta ton, pupuk NPK 2,5 juta ton, kemudian diikuti pupuk ZA 900 ribu ton, pupuk SP-36 800 ribu ton, dan pupuk organik 680 ribu ton.
Laporan tahunan Pupuk Indonesia, penjualan pupuk bersubsidi mencapai 9,2 juta ton. Terdiri dari 4,1 juta ton Urea, 2,6 juta ton NPK, dan 2,5 juta pupuk lain. Jumlah konsumsi menunjukkan sekitar 81 persen konsumsi pupuk Indonesia adalah pupuk bersubsidi. (wah/jpnn)