JAKARTA, METRO–Harga Bitcoin (BTC) memasuki bulan September dalam tekanan. Setelah sempat mencetak rekor tertinggi baru di USD 123.731 atau setara Rp 2,01 miliar pada 14 Agustus lalu, BTC terus turun perlahan hingga sekarang berada di bawah USD 110.000 atau sekitar Rp 1,79 miliar.
Dikutip dari BeInCrypto, Selasa (2/9), penurunan nyaris 10 persen itu tidak terjadi begitu saja. Faktor historis dan sentimen pasar sama-sama memberi isyarat bahwa bulan September bisa menjadi periode yang berat untuk Bitcoin.
Secara historis, September dikenal sebagai salah satu bulan dengan kinerja paling lemah untuk Bitcoin. Dalam tiga tahun beruntun sebelumnya, BTC mencatatkan penurunan signifikan: 8% di 2020, 7,3% di 2021, dan 3,1% di 2022.
Memang pada 2023 dan 2024, BTC sempat mencetak kenaikan tipis masing-masing sebesar 4% dan 7%. Namun, dengan kombinasi melemahnya minat institusi dan sentimen negatif yang kian membesar, analis memperkirakan tren koreksi akan kembali mendominasi September tahun ini.
ETF Mengering, Institusi Mundur
Salah satu penyebab utama dari tren negatif ini adalah arus dana keluar (outflow) dari produk ETF Bitcoin. Sepanjang Agustus, total dana yang ditarik dari ETF berbasis BTC mencapai USD 751,12 juta atau sekitar Rp 12,25 triliun, menurut data SosoValue.
Padahal, sejak ETF spot BTC disetujui, aliran dana besar dari institusi inilah yang menjadi pendorong utama lonjakan harga hingga menembus rekor baru. Ketika arus modal tersebut terhenti, dorongan naik pun melemah.
“Minat institusional yang menurun menjadi sinyal kelelahan pasar,” tulis analis. Tanpa dukungan dari ETF, pasar kripto harus mengandalkan investor ritel, yang sayangnya, juga sedang dalam mode wait and see.
















