“Skema subsidi energi pemerintah bisa membantu menahan laju inflasi jangka pendek. Namun, jika harga minyak menembus USD 90–100 per barel dan bertahan lama, beban fiskal dan defisit transaksi berjalan (CAD) perlu diwaspadai. BI kemungkinan akan mempertahankan kebijakan moneter ketat untuk menjaga stabilitas nilai tukar,” bebernya.
Andry juga menyoroti potensi ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat. Situasi ini bisa mendorong arus keluar modal asing dari pasar obligasi dan saham domestik. Volatilitas pasar dipastikan naik, sehingga investor akan menunggu respons lanjutan dari Iran. Termasuk potensi serangan balik atau penutupan Hormuz secara penuh.
Dalam jangka pendek, dia memproyeksikan harga minyak dunia akan berada pada rentang USD 80-90 per barel. Dengan potensi koreksi jika diplomasi kembali dibuka. Di sisi lain, pentingnya mempersiapkan sejumlah antisipasi terhadap skenario terburuk.
“Gejolak ini harus dimitigasi dengan strategi diversifikasi energi nasional, efisiensi fiskal, dan koordinasi erat antar otoritas. Ketahanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi tekanan eksternal menjadi kunci,” ucap alumnus Georgia State University itu. (jpc)
















