JAKARTA, METRO—Lonjakan harga minyak global akibat serangan militer Amerika Serikat (AS) ke fasilitas nuklir Iran berpotensi menimbulkan tekanan terhadap ekonomi nasional. Terutama pada sisi inflasi dan nilai tukar rupiah.
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro menyatakan, serangan Operation Midnight Hammer tersebut diluncurkan oleh AS menggunakan pesawat siluman B-2 dan rudal Tomahawk menghantam tiga lokasi utama nuklir Iran pada Minggu dini hari (22/6). Yakni, Fordow, Natanz, dan Isfahan. Sebagai respons, Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz, jalur strategis yang dilalui sekitar 20 persen pasokan minyak dunia.
“Harga minyak mentah Brent sudah naik lebih dari 2 persen ke level USD 79,1 per barel, dan ini bisa terus berlanjut jika situasi tidak mereda. Ketegangan geopolitik seperti ini umumnya berdampak langsung ke tekanan imported inflation, karena Indonesia masih bergantung pada impor energi,” kata Andry kepada Jawa Pos.
Jika konflik semakin dalam dan benar-benar menyebabkan gangguan suplai di Selat Hormuz, Indonesia berisiko menghadapi tekanan berlapis. Mulai dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), biaya logistik, hingga pelemahan rupiah akibat sentimen risk-off investor global.