Harga Minyak Goreng Terus Naik,Pengamat: Dorong Pemerintah Lakukan Intervensi Pasar secara Ketat

Illustrasi.

JAKARTA, METRO–Selama Ramadhan dan beberapa bulan terakhir harga minyak goreng terus mengalami kenaikan. Hal itu berdampak pada daya beli. Di tingkat rumah tangga menimbulkan ke­naikan pengeluaran. Di kalangan pelaku usaha kuli­ner me­rasakan beban yang bertambah karena harga po­kok produksi meningkat.

Fenomena itu kerap berulagn setiap tahun. Di pasar modern dan pasar tradisional saat ini harga minyak goreng cukup tinggi. Lonjakan harga minyak koreng ini terjadi karena mulai naiknya harga minyak sawit di dalam negeri di tengah ketidakpastian eko­nomi.

Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta (UPNVJ) Freesca Syafitri menyoroti lesunya daya beli ma­syarakat akibat himpitan ekonomi. Menurut dia, ma­syarakat berhak mendapat minyak goreng dengan harga yang terjangkau melalui program minyak goreng merek MinyaKita. Kehadiran minyakita de­ngan harga yang telah ditentukan sebagai wujud keadilan bagi rakyat.

Dia mejelaskan, secara teori, Pemerintah memiliki kemampuan untuk menurunkan kembali Harga Eceran Tertinggi (HET) harga MinyaKita ke Rp 14.000 per liter. Langkah itu membutuhkan kebijakan intervensi yang lebih kuat, baik dalam bentuk subsidi tambahan, penguatan mekanisme Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO). “Maupun pengurangan biaya produksi melalui insentif fiskal,” kata Freesca kepada awak media di Jakarta, Rabu (19/3).

Jika langkah ini tidak diimbangi dengan reformasi distribusi dan pengawasan yang lebih ketat, maka risiko kelangkaan dan spekulasi akan tetap tinggi. Kebijakan harga minyak goreng harus dilakukan secara hati-hati. Yaikni, mempertimbangkan keseimbangan antara daya beli masya­rakat, keberlanjutan industri, dan stabilitas fiskal negara.

Menurut Freesca, jika pemerintah ingin menjadikan MinyaKita tetap terjangkau bagi masyarakat, maka pendekatan terbaik bukan hanya menurunkan HET, tetapi juga meningkatkan efisiensi dalam rantai pasok, menekan biaya pro­duksi, serta memperbaiki mekanisme distribusi agar minyak goreng benar-benar tersedia bagi semua kalangan.

Di sisi lain, industri mi­nyak sawit dan minyak goreng di Indonesia dikuasai segelintir perusahaan besar yang mengendalikan seluruh rantai pasok, dari perkebunan hingga distribusi. “Struktur pasar oligopoli ini memungkinkan mereka memanipulasi harga, sementara petani kecil terpinggirkan dengan harga jual rendah,” kata Freesca.

Dia menilai fokus ekspor yang lebih menguntungkan korporasi sering kali mengorbankan pasokan domestik. Sikap tu me­micu kelangkaan dan lonjakan harga yang membebani masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah. “Lemahnya regulasi memperkuat praktik kartel dan monopoli, memungkinkan perusahaan besar menghindari sanksi meskipun terbukti mengendalikan harga,” tambah Freesca.

Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Iqbal Shoffan Shofwan menyebut sejumlah alasan di balik praktik curang pengurangan volume Minyakita oleh distri­butor dan perusahaan pe­ngemasan (repacker) yang berujung pada lonjakan harga di pasaran.

Menurut dia, salah satu faktor utama adalah keterbatasan akses terhadap minyak goreng dari skema DMO. “Bisa jadi para repacker yang mengurangi volume itu tidak menda­patkan minyak DMO,” kata Iqbal kepada wartawan di Kemendag, Jakarta, Selasa (18/3).

Distribusi minyak go­reng rakyat bergantung pada kesepakatan antara produsen dan repacker melalui mekanisme bisnis ke bisnis (B2B) yang se­penuhnya bersifat komersial. Artinya, tidak semua repacker bisa memperoleh pasokan minyak DMO, sehingga ada kemungkinan mereka mencari cara lain untuk tetap memproduksi dan mendistribusikan MinyaKita, termasuk dengan mengurangi volume atau menggunakan minyak komersial.

“Mengapa mereka tidak mendapatkan minyak DMO? Karena ini kan tergantung produsennya, mau kerja sama dengan repacker yang mana. Ini kan mekanismenya B2B dan murni skema komersial,” ujar Iqbal menerangkan.

Dia menyebutkan akibat dari penggunaan mi­nyak komersial dalam produk MinyaKita, harga di pasaran bisa melonjak hingga Rp 17 ribu-Rp 18 ribu per liter, jauh di atas HET yang ditetapkan sebesar Rp 15.700 per liter.

“Karena minyak komersial kan enggak diatur. Kalau MinyaKita, DMO itu kan diatur. Dari produsen ke distributor satu (D1) Rp 13.500, dari D1 ke distributor dua (D2) Rp 14 ribu, lalu ke pengecer Rp 14.500, dan ke konsumen Rp 15.700. Itu yang kami atur,” jelasnya. (jpc)

Exit mobile version