Dia menilai fokus ekspor yang lebih menguntungkan korporasi sering kali mengorbankan pasokan domestik. Sikap tu memicu kelangkaan dan lonjakan harga yang membebani masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah. “Lemahnya regulasi memperkuat praktik kartel dan monopoli, memungkinkan perusahaan besar menghindari sanksi meskipun terbukti mengendalikan harga,” tambah Freesca.
Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Iqbal Shoffan Shofwan menyebut sejumlah alasan di balik praktik curang pengurangan volume Minyakita oleh distributor dan perusahaan pengemasan (repacker) yang berujung pada lonjakan harga di pasaran.
Menurut dia, salah satu faktor utama adalah keterbatasan akses terhadap minyak goreng dari skema DMO. “Bisa jadi para repacker yang mengurangi volume itu tidak mendapatkan minyak DMO,” kata Iqbal kepada wartawan di Kemendag, Jakarta, Selasa (18/3).
Distribusi minyak goreng rakyat bergantung pada kesepakatan antara produsen dan repacker melalui mekanisme bisnis ke bisnis (B2B) yang sepenuhnya bersifat komersial. Artinya, tidak semua repacker bisa memperoleh pasokan minyak DMO, sehingga ada kemungkinan mereka mencari cara lain untuk tetap memproduksi dan mendistribusikan MinyaKita, termasuk dengan mengurangi volume atau menggunakan minyak komersial.
“Mengapa mereka tidak mendapatkan minyak DMO? Karena ini kan tergantung produsennya, mau kerja sama dengan repacker yang mana. Ini kan mekanismenya B2B dan murni skema komersial,” ujar Iqbal menerangkan.
Dia menyebutkan akibat dari penggunaan minyak komersial dalam produk MinyaKita, harga di pasaran bisa melonjak hingga Rp 17 ribu-Rp 18 ribu per liter, jauh di atas HET yang ditetapkan sebesar Rp 15.700 per liter.
“Karena minyak komersial kan enggak diatur. Kalau MinyaKita, DMO itu kan diatur. Dari produsen ke distributor satu (D1) Rp 13.500, dari D1 ke distributor dua (D2) Rp 14 ribu, lalu ke pengecer Rp 14.500, dan ke konsumen Rp 15.700. Itu yang kami atur,” jelasnya. (jpc)
Komentar