JAKARTA, METRO–Pemerintahan Presiden terpilih, Prabowo Subianto berencana mengubah skema subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi bantuan langsung tunai alias BLT. Adapun alasannya, agar subsidi tersebut bisa tepat sasaran.
Rencana itu juga akan dilakukan, salah satunya agar bisa mengurangi besaran belanja subsidi energi pemerintah yang bisa tembus ratusan triliun. Sehingga, masih bisa digunakan untuk program produktif lain dalam pemerintahan Prabowo-Gibran mendatang.
Merespons hal itu, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai BLT bukanlah solusi untuk mengalihkan subsidi energi agar lebih tepat sasaran.
Ia mengingatkan, justru ada dampak lain yang akan terjadi apabila subsidi energi dialihkan menjadi BLT. Salah satunya, biaya transportasi yang semakin tinggi karena subsidi energi berkurang.
“Menurut saya BLT bukan solusi untuk mengalihkan dari subsidi energi ke BLT, yang harus dimitigasi dampak kenaikan biaya transportasi karena subsidi energi berkurang,” kata Esther saat dihubungi JawaPos.com, Minggu (29/9).
Tak hanya itu, Esther juga mengingatkan pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga-harga barang secara umum di tengah subsidi energi yang dialihkan menjadi BLT.
“Hal ini tentu akan meningkatkan harga-harga barang secara umum,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Burhanuddin Abdullah, menilai subsidi BBM lebih baik langsung diberikan kepada masyarakat bukan ke komoditasnya.
“Kita ingin dengan data yang diperbaiki, data yg disempurnakan, supaya pada mereka itu, diberi saja transfer tunai langsung ke mereka, bukan ke komoditinya, tetapi kepada keluarganya yang berhak untuk terima itu yang akan kita lakukan,” kata Burhanuddin dalam acara UOB Economic Outlook 2025, dikutip Minggu (29/9).
Lebih lanjut, Burhanuddin menilai skema subsidi saat ini tak tepat sasaran. Beberapa masyarakat miskin menurutnya justru tidak merasakan subsidi energi yang dikucurkan pemerintah hingga Rp540 triliun pada tahun 2023.
“Tahun lalu saya pergi ke Solo. Saya bertemu pelanggan PLN paling bawah, mereka bayar bulanan paling Rp30 ribu, lampunya hanya satu. Orang-orang miskin, mereka tidak menerima keuntungan dari subsidi BBM, mereka tidak punya sepeda motor. Mereka beli gas, tetapi satu melon (LPG 3 kg) untuk 2 minggu. Jadi sebetulnya siapa yang menikmati subsidi itu?” lanjut Burhanuddin.(jpc)