PADANG, METRO–Ekonomi Sumatra Barat (Sumbar) tumbuh 4,71 persen year on year (yoy) di triwulan II tahun 2024 berdasarkan data resmi yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Pertumbuhan tersebut dinilai lebih tinggi dibanding triwulan I yang sebesar 4,39 persen yoy.
Hal itu dikatakan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sumbar, Mohamad Abdul Majid Ikram kegiatan media briefing, Kamis (8/8). Menurutnya, secara spasial pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Sumatera yang sebesar 4,48 persen (yoy) namun masih lebih rendah dibandingkan pertumbuhan nasional sebesar 5,05 persen yoy.
“Dari sisi Lapangan Usaha (LU), pertumbuhan ekonomi Sumbar triwulan II didorong oleh LU Perdagangan dan LU Transportasi dan Pergudangan. LU Perdagangan tumbuh sebesar 5,11 persen (yoy) meningkat dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar 4,47 persen yoy,” jelas Abdul Majid.
Ditambahkan Abdul Majid, hal ini sejalan dengan hasil survei liaison yang dilakukan Bank Indonesia, di mana permintaan domestik khususnya di sector perdagangan meningkat dibandingkan triwulan pertama. Peningkatan LU perdagangan, LU transportasi dan pergudangan tersebut terutama disebabkan oleh momentum Idul Fitri dan Idul Adha.
“Selain itu juga karena momentum libur semester sekolah yang mendorong aktivitas ekonomi dan pariwisata. Sementara itu di sisi pengeluaran, lanjutnya, peningkatan konsumsi seiring momentum Idul Fitri dan Idul Adha mendorong peningkatan kinerja ekonomi Sumbar pada triwulan II. Konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 4,31 persen yoy, meningkat dibandingkan triwulan I yang sebesar 4,23 persen yoy,” ujar dia.
Abdul Majid menuturkan, peningkatan kinerja ekonomi juga didorong oleh Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang tumbuh sebesar 2,77 persen yoy dibandingkan triwulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar -0,68 persen yoy. Peningkatan ini sejalan dengan perbaikan persepsi investor yang membaik pasca-Pemilu.
“Konsumsi pemerintah yang mengalami kontraksi sebesar -0,46 persen yoy menahan peningkatan kinerja ekonomi Sumbar lebih tinggi. Kondisi itu merupakan dampak dari penurunan realisasi belanja modal pemerintah pada triwulan II tahun 2024,” kata dia.