Kebijakan Zero ODOL Mulai Diberlakukan secara Bertahap, Presiden Perlu Terbitkan Inpres

ILUSTRASI. Truk ODOL di jalanan Gresik, Jawa Timur. (istimewa)

jakarta, metro–Pemerintah berencana menerapkan kebijakan zero over dimension over load (ODOL) di tahun ini. Kapan mulai berlakunya belum dipastikan.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Hendro Sugianto memastikan zero ODOL akan dilakukan secara bertahap. “ODOL itu kan 2023, bisa Januari sampai Desember. Tahapannya akan kita lakukan. Bukan Januari langsung zero ODOL, tapi ada tahapan yang akan dilakukan,” tuturnya di Jakarta beberapa waktu lalu.

Hendro menyebutkan, 17 persen kecelakaan lalu lintas disebabkan permasalahan ODOL angkutan barang. Sejumlah upaya pun telah dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan itu.

Namun, dibutuhkan kerja sama semua pihak dan kesadaran. Baik dari masyarakat maupun dunia usaha.

Kementerian Perhubungan juga telah berkoordinasi dengan kepolisian agar ketika ada kecelakaan yang disebabkan kendaraan ODOL, tidak hanya pengemudi yang dipidanakan, tetapi pengusahanya juga wajib dijadikan tersangka untuk menimbulkan efek jera.

“Selama ini hanya pengemudi yang dijadikan tersangka, pengemudi berada di pihak yang lemah, dan pengusaha tidak pernah bertanggung jawab,” terangnya.

Pengamat transportasi sekaligus akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno menyebutkan, jika yang bekerja hanya perhubungan darat, target zero ODOL 2023 sulit terwujud. Sebab, persoalan di lapangan memang cukup banyak.

“Kementerian atau lembaga lain juga harus didesak untuk bersama-sama, jangan hanya perhubungan darat,” katanya.

Dia menegaskan, target zero ODOL 2023 bisa terealisasi jika presiden langsung turun tangan. Yakni, dengan menerbitkan instruksi presiden (inpres).

Berpotensi Picu Inflasi dan Kemacetan

Menanggapi pemberlakuan aturan zero ODOL 2023, kalangan pengusaha memberikan respons negatif. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, kebijakan tersebut berpotensi memberatkan subsektor industri yang memiliki komponen besar dalam biaya distribusi.

Hariyadi mencontohkan, asosiasi keramik yang biaya distribusinya berpotensi naik dua kali lipat, bahkan lebih, jika batas ODOL diturunkan. “Jadi, ini sangat signifikan dan ini tentu juga akan memicu inflasi,” ujarnya.

Hariyadi pun menyarankan agar aturan tersebut diterapkan melalui fase transisi. Jika tanpa adanya transisi, kegiatan distribusi bisa berhenti,

 “Ini berpotensi menimbulkan kekacauan,” ucapnya.

Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto menambahkan, penerapan zero ODOL berpotensi meningkatkan biaya angkutan logistik.

“Jika kapasitas angkut diturunkan semisal 10 persen, jumlah perjalanan pergerakan barang dari industri akan bertambah 10 persen,” ujarnya.

Akibatnya, lanjut dia, biaya transportasi logistik dari masing-masing industri akan naik secara linier. Kenaikan biaya tersebut pastinya akan dibebankan kepada pembeli.

Bertambahnya jumlah trip per hari dari industri pun akan naik 10 persen. “Kalau sudah begitu, jumlah truk yang melintas di jalan-jalan juga akan ikut meningkat hingga berpotensi terjadi kemacetan,” urainya.

Menurut Mahendra, jika tidak bisa membatalkan kebijakan zero ODOL, pemerintah harus bisa membantu mengurangi biaya-biaya lain untuk industri transportasi. Asosiasi meminta pemerintah menurunkan tarif tol antarprovinsi untuk truk logistik dengan tarif yang paling murah dibandingkan kendaraan lain.

Exit mobile version