Dilema Pendaftaran Tanah Ulayat

Tanah merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat adat. Tanah dianggap sebagai suatu hal yang harus ada dan dimiliki oleh setiap manusia, banyak hal yang bisa dilakukan dengan adanya hak atas tanah seperti tempat bercocok tanam untuk menunjang perekonomian. Untuk melindungi masyarakat adat atas hak kepemilikan tanah maka timbul wacana pemerintah untuk mensertipikasi agar terciptanya kepastian hukum.
Hal ini dilakukan agar nantinya masyarakat adat bisa mendaftarkan tanah mereka dengan dalih bisa digunakan sebagai jaminan gadai apabila suatu saat akan melibatkan pihak ketiga seperti bank, maupun investor.
Sumatera Barat merupakan bahagian dari banyaknya persekutuan hukum adat di Indonesia, kehidupan masyarakatnya pun tidak terlepas dari yang namanya tanah ulayat. Menurut adat Minangkabau di Sumatera Barat tanah ulayat merupakan salahsatu ciri khas adanya kaum, oleh karena itu harus dijaga dan dilestarikan. Hukum adat Minangkabau mengakui bahwa hak yang tertinggi terhadap tanah adalah hak ulayat, yaitu merupakan suatu rangkaian dari pada wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang termasuk lingkungan wilayahnya.
Keberadaan tanah ulayat diakui didalam pasal 3 Undang-undang No 5 tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Secara yuridis keberadaaan tanah ulayat sudah diatur sebelumnya akan tetapi hal tersebut perlu tindak lanjut dari pemerintah yaitu dengan cara sertipikasi atau pendaftaran hak komunal. Soal pendaftaran tanah ulayat dan disertipikasi banyak ditentang oleh sebagian masyarakat Sumatera Barat.
Kalangan yang menolak mencurigai bahwa nantinya apabila disertipikasi akan menghilangkan sifat komunalitas atas tanah ulayat. Bahkan akan menghilangkan keberadaan tanah ulayat karena beralih menjadi tanah atas hak-hak individu. Pendaftaran tanah yang dibuktikan dengan sertipikat, misalnya tanah ganggam bauntuak sebagai proses individualisasi tanah ulayat yang semula merupakan milik komunal.
Tanah ulayat merupakan hak yang mandiri yang pengelolaannya diatur oleh masing-masing masyarakat adat. Pengelolaan tanah ulayat yang merupakan hak mandiri diMinangkabau diperkuat dengan kemandirian komunitas yang tergambar dalam ungkapan “adat salingka nagari”.
Konsep ini mempertegas konsepsi otonomi masyarakat adat, dimana pengaturan hak ulayat  berdasarkan hukum adat merupakan sistem hak yang berlaku pada ruang lingkup wilayah nagari. Pepatah ini juga menegaskan bahwa tanah ulayat bukanlah ruang yang kosong dari aturan. Seluruh aspek yang terkait dengannya telah diatur oleh norma adat secara pasti, sehingga tidak perlu lagi sertipikat sebagai bukti kemandirian hak atas tanah.
Disisi lain, pihak yang mendorong pendaftaran tanah ulayat mengharapkan agar tanah ulayat memiliki pengakuan hukum dari negara sehingga memiliki kepastian hukum. Pilihan pengakuan dalam bentuk sertipikat menjadikan tanah ulayat lebih leluasa dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi karena memiliki landasan hukum keperdataan yang kuat.
Bahkan menurut pasal 32 ayat 1 PP No 24 tahun 1997 menyatakan bahwa sertipikat merupakan alat bukti yang kuat aatas hak kepemilikan atas tanah. Sertipikat selain membuktikan kepastian pemegang hak atas tanah juga memberikan kemudahan mengukur secara kuantitatif nominal harga tanah karena menyediakan data-data fisik tanah. Sebagai alat ekonomi sertipikat juga dianggunkan ke bank untuk mendapatkan sejumlah pinjaman uang.
Kritik terhadap sertipikasi juga muncul karena anggapan bahwa sertipikasi yang didorong oleh lembaga-lembaga keuangan internasional ditujukan agar terciptanya pasar tanah dimana tanah-tanah termasuk tanah ulayat, dapat mudah dipertukarkan dengan mekanisme pasar dan memberikan kepastian hukum dari pencapaian penjualan tersebut. Kondisi ini dapat semakin menghilangkan kebaradaan tanah ulayat, bukan fisiknya namun eksistensinya. Lewat Land Administration Project (LAP), Pemerintah (dan BPN) bersamadengan Bank Dunia dan Aus Aid sedang menjalankan suatu mega-proyek mengenai deregulasi pertanahan dengan istilah “Land Resource and Management Planning” yang akan berlangsung selama 25 tahun (1995-2020).
Proyek tersebut dilakukan dengan merancang suatu desain perubahan manajemen dan administrasi pertanahan yang tujuan akhirnya adalah terciptanya pasar tanah (land market). Pelaksanaannyadilakukansecarabertahapsetiaplimatahun.LAP I (1995-2000) menelanbiayasebesar US$ 140,1juta, didanaidarianggarannasionalsebesar US$44,9 juta (32%), pinjamandari Bank Dunia US$ 80 juta (57%) dansisanya US$ 15,2 juta (11%) adalah grant dariAusAid. Meskipun program ini telah ditentang oleh aktivis, akan tetapi mereka tetap jalan terus. Terakhir LAP II akan kembali dilaksanakan, dan akan mulai memasukkan obyek tanah masyarakat adat, karena sudaha danya pilot proyek sebelumnya yang dijalankan di Sumatera Barat. Rencananya LAP II akan bernilai sebesar US$ 110 juta, yaitu US$ 20 juta dari pemerintah Indonesia dan US$ 90 juta dari pinjaman Bank Dunia.
Dengan perspektif pluralisme hukum, Ade Saptomo menyampaikan bahwa di balik sertifikat juga lahir asumsi inkoorporasi antara hukum adat dengan hukum nasional, yaitu hukum adat menerima sebagian unsur hukum negara dan hukum negara menerima sebagian hukum lokal (adat). Artinya, sebagian warga masyarakat di suatu tempat bersedia menerima unsur hukum negara dan hukum negara pun “tidak keberatan” untuk mengakomodasi keinginan warga.Hal ini dapat ditafsir pada sebuah fenomena sertifikasi hak atas tanah ulayat dimana di halaman depan sertifikat tertulis satu nama penghulu suku atau mamak kau mata sebidang tanah, sementara di balik sertifikat dimaksud tertuang sejumlah nama-nama kemenakan penghulu suku sebagai pemilik bersama.
Pandangan diatas hampir samad enganpandangan John Griffiths yang menyatakan bahwa keterbukaan hukum negara yang pada dasarnya bersifat generalis dan tidak mengenal pembedaan terhadap sistem hukum adat yang lokalitas dan beragam merupakan salahsatu cara penguatan dari sentralisme hukum negara.
Griffiths menyatakan sentralisme hukum menggunakan pluralisme hukum sebagai salah satu upaya untuk mengakomo dirsitu asisosial yang dirasakan problematik dengan memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum masyarakat lokal sebagai bagian ketentuan hukum yang tunduk pada hukum negara.Dalam hal ini pluralisme hukum yang dibadankan dalam bentuk sertifikat.Sertifikat kemudian dijadikan sebagai alatoleh sentralisme hukum negara untuk menundukkan keberagaman dan struktur hukum masyarakat atas sebidang tanah. (*)

Exit mobile version