Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah

Judul di atas mungkin identik dengan slogan salahsatu BUMN. Tapi tulisan ini bukan bermaksud mengulas itu. Melainkan tentang pembangunan spektakuler yang kini disiapkan pemerintahan Indonesia dibawah kepemimpinan Jokowi. Salahsatunya jalan tol. Bagi yang sudah sering melintas di jalan tol tentu paham benar bagaiamana fasilitas tol dibutuhkan. Terkhusus di kota kota besar, tol menjadi sarana penting transportasi, karena jalan umum sudah tidak memadai. Pertumbuhan kendaraan begitu pesat tak sebanding pembangunan jalan jalan umum.

Tol memang berbayar, artinya ia dikelola dengan profesional ala swasta. Berbayar sebanding dan harus selaras dengan layanan yang didapatkan. Maka tol sama dengan jalan bebas hambatan, bebas macet. Tak ada jalan berlubang, dan tak ada roda dua yang memenuhi ruas jalan. Kehadiran tol tentu tidak serta merta, tidak mudah seperti membangun jalan umum. Ia hanya mulus saat pemanfaatan, tapi proses pembangunan penuh hambatan. Mulai pembebasan lahan hingga penerimaan masyarakat yang dilalui ruas jalan. Ada kesan, jalur tol akan menjadi jalur mati dari sisi ekonomi. Ini perlu penjelasan komprehensif ke publik.
Sumbar menjadi satu provinsi yang pengerjaan tolnya sedang dikebut. Kini kesannya masih terseok seok, tentu kita berharap bisa diselesaikan dengan semboyan menyelesaikan masalah tanpa masalah. Kita dapat memahami Presiden Jokowi yang punya target ambisius dalam pembangunan jalan tol. Pada 2024 atau akhir pemerintahannya dua periode, Indonesia memiliki 5.200 km jalan tol baru. Tentu pembanguanannya tersebar di berbagai pelosok tanah air.
Jalan tol bukanlah sesuatu yang baru dalam pembangunan Indonesia sejak tahun 1978 atau 40 tahun yanh lalu pengerjaannya sudah mulai dilakukan, tetapi terpusat di Jawa terutama Jakarta. Melihat perkembangan dan pertumbuhan kendaraan, jalan jalan umum bebas biaya yang ada dinilai tak representatif lagi. Sebagai sebuah kebijakan atau tuntutan pembangunan, tentu pembangunan tol tol baru sudah tak terelakkan. Suka tidak suka, mau tidak mau pembangunannya tak bisa dielakkan. Meskipun di banyak tempat dan banyak titik tetap terjadi prokontra di tengah masyarakat.
Masyarakat pemilik lahan yang lokasinya dijadikan pembangunan tol tentu bukan warga utama yang akan memanfaatkan fungsi tol. Tetapi mereka bisa jadi menjadi dikorbankan atas kebutuhan lahan. Justru itu pemerintah harus mengawal betul pembebasan lahan teraebut, sehingga tidak ada yang dirugikan. Jika itu terjadi maka tak akan besar lagi reaksi penolakan. Terkait program presiden Jokowi, di periode pertama kepemimpinannya, total panjang jalan tol di Indonesia sudah meningkat dua kali lipat dibanding ketika pertama dibangun pada 1978. Nah, memasuki masa kepemimpinan kedua, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan panjang jalan tol di tanah air bisa meningkat hingga 4.500–5.000 kilometer.
Jokowi mengatakan, hingga 2014, Indonesia baru memiliki 780 kilometer saja. Barulah pada akhir 2019, jumlahnya meningkat dua kali lipat. Meski meningkat, Jokowi mengaku belum puas. Untuk itu, pihaknya ingin percepatan pembangunan jalan tol bisa terus dilanjutkan hingga 4.500–5.000 kilometer pada 2024.
Pembiayaan tidak semua infrastruktur bergantung pada APBN. Tapi pemerintah perlu mengembangkan melalui creative financing. Di antaranya kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), pembiayaan investasi non anggaran pemerintah alias PINA, dan public private partnership (PPP). Semoga program program ambisius pembangunan jalan tol menggbirakan semua pihak, termasuk masyarakat sekitar pembangunan. (*)

Exit mobile version