Persoalan terbesar energi saat ini adalah: bagaimana bisa menyimpan listrik. Sumber energi begitu banyak. Tapi terbuang begitu saja. Ilmuwan tidak henti-hentinya memikirkan bagaimana bisa menyimpan listrik. Sebesar-besarnya. Selama mungkin. Dan akhirnya Prof John Goodenough meraih hadiah Nobel. Untuk tahun 2019. Bidang kimia. Bersama seniornya (Prof. Michael Stanley Whittingham) dan juniornya (Akira Yushino). Tiga orang itulah yang dianggap menemukan baterai lithium. Yang manfaatnya tiada tara. Bagi manusia. Terutama sejak semua orang membawa handphone.
Tanpa lithium ponsel kita bisa sebesar boks uangnya Iis Dahlia. Sebenarnya Prof Goodenough jauh lebih tua dari Whittingham. Ia lahir di Jerman tahun 1922. Prof Wittingham lahir di Inggris tahun 1941. Prof Whittingham lebih muda 19 tahun. Tapi Whittingham-lah yang menemukan fondasi baterai lithium. Dialah yang menemukan intercalation electrode. Yakni saat Whittingham melakukan riset di Oxford University. Hanya saja penemuan itu tidak pernah jadi kenyataan. Perusahaan energi Exxon pernah mencoba mewujudkannya. Di tahun 1971. Tapi proyek itu dihentikan di ujung jalan. Sebenarnya berhasil. Tapi dianggap tidak ekonomis. Dan tidak praktis. Itu karena materialnya harus sangat khusus: titanium. Tidak fisibel.
Tapi Prof Goodenough tidak pernah berhenti memikirkannya. Ia mengenal baik Whittingham. Ia mengakui kehebatan penemuan anak yang muda itu. Bahkan keduanya pernah menulis buku bersama. John Goodenough ingin sekali mendalami penemuan Whittingham. Ia pun pergi ke Oxford. Tenggelam di laboratorium Whittingham. Hampir sepuluh tahun kemudian Goodenough menemukan yang dicari: lithium cobalt oxide (LiCoO2). Itulah bahan baru untuk katoda dan anoda. Hak cipta penemuan itu dibeli oleh Asahi Kansei Coorporation. Tapi untuk mewujudkannya diperlukan waktu lebih 10 tahun lagi.
Yakni setelah ilmuwan dari Meijo University direkrut Asahi Kansei Corporation. Di bagian riset. Ilmuwan itulah yang menemukan cara memproduksi baterai lithium. Itulah ia: Akira Yoshino. Yoshino-lah yang bisa mewujudkan penemuan Prof Goodenough menjadi sebuah baterai ‘beneran’. Yakni baterai yang aman dan mudah dibawa-bawa. Aman dalam pengertian tidak mudah terbakar. Mudah dibawa karena wujudnya yang bisa mungil.Yoshino menggunakan bahan yang disebut polyacetylene. Bahan itu ditemukan oleh Hideki Shirakawa. Yakni polymer untuk electroconductive.
Shirakawa kini sudah berumur 83 tahun. Ia menjadi guru besar di Zhejiang University, Hangzhou, Tiongkok. Penemuannya itulah yang membuat Shirakawa menerima hadiah Nobel. Juga di bidang kimia. Di tahun 2000. Biar pun tidak hafal nama-nama ilmuwan itu kita menikmati hasil pemikiran mereka. Tapi Prof Goodenough masih gelisah. Sejak lithium diwujudkan di tahun 1983 itu belum ada lagi terobosan baru. Belum ditemukan lagi baterai baru yang lebih revolusioner. Lithium sendiri sebenarnya mengalami kemajuan. Sedikit. Bisa menyimpan sedikit lebih banyak dan sedikit lebih cepat. Tapi kemajuan itu hanya ibarat orang naik tangga. Belum ada lift yang bisa dianggap loncatan.
Itu yang membuat Prof Goodenough heran. Ilmu pengetahuan —di bidang itu— seperti berhenti. Barulah empat tahun lalu ada lompatan jauh. Tapi yang membuat lompatan itu bukan orang lain. Prof. Goodenough sendiri. Di saat usianya 93 tahun. Goodenough memperbaharui Goodenough. Empat tahun lalu Prof Goodenough menemukan bahan baru. Serba padat. Yang bisa membuat baterai lebih aman. Lebih murah. Dan kapasitasnya jauh lebih besar. Untuk penemuan barunya itu Prof Goodenough banyak dibantu guru besar wanita asal Spanyol: Prof Maria Helena Braga (Disway: Maria Goodenough).
Penemuan itu akan mengubah peta energi. Indonesia akan paling diuntungkan. Kelemahan tenaga surya adalah: mataharinya hanya terbit di siang hari. Padahal listrik itu lebih banyak diperlukan malam hari. Kalau produksi listrik siang hari itu bisa disimpan untuk dipakai malam hari betapa hebatnya. Kemampuan baterai yang sekarang tidak memadai untuk itu. Manfaat terbesarnya baru untuk ponsel dan laptop. Sedang untuk rumah tangga, tower telekomunikasi, dan industri belum terbantu. Umumnya kita masih akan menyaksikan perubahan besar itu nanti. Dua-tiga tahun lagi. Kita masih sempat memanfaatkannya.
Tapi apakah Prof Goodenough sendiri masih sempat melihat kenyataan itu? Usianya kini sudah 97 tahun. Tapi ia masih sering mengatakan ‘akan sempat menyaksikannya’.Di usianya itu ia masih aktif di laboratorium Texas University. Masih membimbing doktor-doktor muda. Prof Goodenough tercatat sebagai ilmuwan tertua yang menerima Nobel. Ia seperti ingin membuktikan ini: otak itu beda dengan dengkul —kian dipakai kian cemerlang. (*)