Jadwal Ujian Nasional mulai mendekat. Di dunia pendidikan fokus mulai tertuju pada persiapan ujian. Dimulai dari tingkat SLTA dilanjutkan tingkat SLTP dan berakhir di ujian SD. Kemudian akan berlanjut dengan penerimaan mahasiswa baru, penerimaan siswa baru SLTA, SLTP, dan dilanjutkan untuk murid baru SD.
Pihak sekolah, jajaran dinas pendidikan sampai kepala daerah tengah berbenah agar mereka bisa menoreh prestasi terbaik. Maklum sampai saat ini kita masih kaku dengan budaya hasil. Siapa sekolahnya lulus seratus persen dan meraih nilai tertinggi maka naiklah nama sekolah tersebut. Gurunya dipuji, kepala sekolahnya berseri seri dan kepala daerahnya bisa bicara ke sana ke sini tentang prestasi tersebut.
Masing-masing berupaya menyelamatkan diri demi prestasi. Kepala sekolah mewanti wanti seluruh guru agar memacu materi pelajaran, memberi pelajaran tambahan dan membuat program apapun untuk lulus seratus persen. Kepala dinas pendidikan mengumpulkan para kepala sekolah memberi arahan khusus agar sukses pelaksanaan UN. Bisa saja ini dilakukan karena ada funish and reward. Mereka yang nerprestasi akan aman untuk jabatan berikutnya, sementara siapa yang gagal alamat diganti di tengah jalan.
Mengejar prestasi sebaik baiknya menjadi target semua orang. Hanya saja yang salah adalah menghalalkan segala cara demi hasil yang memuaskan. Proses dan cara sering diabaikan, demi orientasi out put. Entah karena ini atau tidak, meletuslah kecurangan kecurangan dalam pelaksanaan UN. Namun kecurangan kecurangan itu dibiarkan berlalu begitu saja. Semua pasang target “bisa bertahan” dengan jabatannya. Tak mustahil, ndak kayu janjang dikapiang. Segala cara dilakukan untuk tujuan yang sudah ditetapkan.
Anak anak juga seperti itu. Beban psikologis mengejar nilai dengan poin tertentu menghantui mereka menjelang pelaksanaan ujian. Konon kabarnya materi pelajaran saat ini jauh lebih berat dan lebih banyak dibanding cara belajar 20 atau 30 tahun yang lalu. Tuntutan pendidikan berkualitas memang harus mengorbankan banyak hal, bagi pelajar mereka harus mengorbankan sebagian waktu bermain atau sebagian waktu berinteraksi sosial dengan lingkungan.
Anak anak sekarang memang hebat setelah dipaksa untuk hebat. Untuk masuk SD mereka minimal harus pandai dasar dasar tulis baca, pandai berhitung dan usia mendekati tujuh tahun. Guru tak lagi berjibaku mengajari dari nol, sehingga ada selentingan ciloteh guru masa lalu,” enaknya jadi guru sekarang, murid yang masuk SD saja sudah bisa berhitung dan membaca. Sudahlah pekerjaan agak mudah, sertifikasi pun diterima”.
Lihatlah deretan prestasi tunas tunas muda bangsa kita, menembus prestasi di tingkat regional hingga internasional dalam berbagai disiplin ilmu. Berbagai cara dilakukan agar kompetisi di olimpiade bisa didominasi. Orientasi prestasi telah menghiasi dunia pendidikan saat ini. Berbagai langkah ditempuh, berbagai anggaran dikucurkan, dan segenap kemampuan dikerahkan untuk prestasi prestasi berikut. Ndak kayu janjang dikapiang.
Tak ada salahnya, pemerintah dan jajaran dunia pendidikan mengejar segudang prestasi. Tetapi juga harus diperhatikan agar ada keseimbangan prestasi satu dua siswanya dengan siswa siswa lainnya yang terpuruk dan tak bisa mengukir prestasi.
Jangan sampai prestasi yang ditoreh duta duta siswa kita hanya untuk sekelompok kecil siswa. Sementara siswa yang lainnya terpuruk di bawah kemampuan rata rata. Semestinya kita harus mulai berpikir agar ada pemerataan kemampuan siswa siswa, baik di jenjang SLTA, SLTP maupun di tingkat SD. Untuk hal yang satu ini semestinya pihak terkait juga berpikir “ndak kayu janjang dikapiang untuk mewujudkannya.
Kalaulah jajaran di dunia pendidikan mau membuka mata, sebenarnya terjadi jarak yang sangat jauh antara kualitas pendidikan di pusat pemerintahan atau di perkotaan dengan daerah daerah jauh di pedesaan dan terisolir. Lantaran minimnya sarana pendukung, akhirnya mereka yang di pelosok tidak bisa berkompetisi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Saat star masuk TK atau SD, kemampuan person para siswa bisa dinggap sama. Saat masuk di bangku SD fasilitas mulai berbeda. Banyak sekolah yang tidak memiliki kelengkapan sarana, kelengkapan guru mengajar. Belum lagi kita bicara kesetaraan kemampuan mengajar tenaga pendidiknya yang disebabkan banyak faktor penghambat.
Setamat SD, para murid yang kurang fasilitas ini mulai tersisih masuk ke sekolah lanjutan yang kualitasnya sedang sedang saja. Lalu ibarat mata rantai, lalu mereka masuk ke SLTA yang tak ada apa apanya. Sementara di bagian lain, siswa yang memulai di SD yang lengkap fasilitas bisa dengan mudah melenggang ke SLTP yang berprestasi pula, lalu berlanjut ke SLTA dan akhirnya untuk masuk perguruan tinggi favorit mereka hanya seperti pindah kelas saja.
Sadar atau tidak, potret seperti ini mulai terlihat dalam dunia pendidikan kita. Semangat dan semboyan pendidikan gratis belum bisa memberikan keadilan bagi dunia pendidikan. Keadilan masih bersifat semu tetapi belum menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya. Betapa banyak tunas tunas muda generasi bangsa ini yang layu sebelum berkembang.
Mereka hidup dan menikmati pendidikan di lahan yang gersang, sehingga tak punya kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuan terpendam yang sesungguhnya. (*)