Tsunami Rommy di Tahun Politik

Badai politik kini mendera salahsatu partai peserta Pemilu 2019, yakni PPP. Ketua umumnya betul yang terkena OTT oleh lembaga anti korupsi, KPK. Lembaga independen ini kembali menangkap pucuk pimpinan Parpol, kali ini Romahurmuziy. Ini adalah pimpinan parpol yang ke lima terjerat korupsi.
Bagiamanapun ini tentu tamparan bagi jajaran PPP, mulai pusat hingga daerah. Termasuk Sumatera Barat yang memiliki masa fanatik untuk partai berlambang ka’bah tersebut. Setiap DPRD kabupaten/kota ada anggota dewan yang tersebar dari PPP, begitu juga untuk provinsi. Bahkan untuk DPR RI, PPP mengirim kan wakil satu setiao Dapil, dengan totak keseluruhan dua orang.
Di tengah kondisi politik dan dinamika antarparpol yang terjadi belakangan, mengantarkan dua anggota ke Senayan bukan hal yang mudah, apalagi untuk Sumatera Barat dengan jumlah anggota DPR di senayan yang hanya 14 orang. Ditambah dinamika politik yang terjadi di internal PPP, peseteruan dua kubu yang belakangan baru mulai mereda.
Peristiwa naas atau boleh disebut “tsunami politik” bagi PPP tentu menambah berat tugas para pengurus dan kadernya. Merebut dan mempertahankan simpatik rakyat dalam sisa waktu Pemilu yang hanya tinggal satu bulan lagi. Seperti disebutkan di awal, bahwa selain Rommy, panggilan Romahurmuziy juga ada empat pimpinan Parpol lainnya yang berurusan dengan KPK. Namun situasi dan waktu nya berbeda, bukan di puncak puncak tahun politik.
Dirangkum dari beberapa sumber, nama ketua umum partai politik yang ditetapkan sebagai tersangka, pertama Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq. Pada 30 Januari 2013, KPK mengumumkan Luthfi Hasan Ishaaq yang saat itu menjabat presiden PKS sebagai tersangka kasus suap impor daging untuk tahun 2013.
Kedua, Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum yang ditetapkan sebagai tersangka terkait penerimaan gratifikasi berupa Toyota Harrier dari Adhi Karya pada 22 Februari 2013. Pemberian itu terkait dengan proyek Hambalang. Anas ditetapkan tersangka dan dijerat dengan pasal 12 huruf a atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU 20 Tahun 2001 tentang UU Pemberantasan Korupsi.
Ketiga, Ketum PPP Suryadharma Ali, yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji pada 22 Mei 2014. Ke empat, KPK juga menetapkan Setya Novanto jadi tersangka dalam kasus e-KTP. Novanto merupakan Ketum Golkar sejak 2016. Penetapan tersangka Novanto ini diumumkan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo. Novanto adalah tersangka keempat di kasus ini. Novanto divonis hukuman pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Empat nama tersebut di atas sudah mendapatkan putusan hukum tetap/incrach. Selain untuk PPP, tiga Parpol lainnya yang pimpinannya terjerat kasus hukum PKS, Demokrat dan Golkar relatif stabil dalam menghadapi suasana politik saat ini. Karena beberapa survey menyebutkan rata rata berada di ambang batas electoral treshord.
PPP di tengah kondisi saat ini, dengan waktu yang tersisa berjuang untuk aman di posisi tersebut. Apalagi beban tambahan bagi PPP sebagai salahsatu Parpol yang tergabung dalam koalisi Pengusung Jokowi – Ma’ruf. Beban berat yang harus dipikul petinggi partai lainnya, karena bagaimanapun PPP adalah satu dari sedikit partai yang berbasis agama.
Sikap cepat tanggap yang dilakukan pengurus DPP PPP atas kejadian ini tentu harus dibarangi dengan aksi nyata di lapangan untuk mempertahankan simpatik rakyat, terutama Sumatera Barat. Harus ada argumen dan penjelasan penjelasan masuk akal bahwa apa yang dilakukan Rommy sebagai oknum ketua bukan sistematis dan terstruktur atas kebijakan partai. Menjelaskan ini tentu berat, tetapi ini penting agar “ka’kbah” tidak tumbang hanya gara gara kelaluan satu orang. Jangan sampai gata gara nila setitik, rusak susu sebelanga. (*)

Exit mobile version