SEWAKTU bersekolah di Kweekschool Bukittinggi, Tan Malaka jatuh hati pada seorang gadis yang satu sekolah dengannya bernama Syarifah Nawawi –anak seorang guru terkenal di Bukittinggi. Tapi sayang seribu kali sayang, cinta Tan ditolak. Ternyata Tan bertepuk sebelah tangan.
Setamat sekolah di Bukittinggi, Tan berencana melanjutkan pendidikannya ke Belanda. Sebelum berangkat, keluarga sempat memberikan pilihan kepada Tan, apakah menerima gelar datuk yang akan diturunkan kepadanya, atau bertunangan dengan gadis pilihan orangtuanya? Tan akhirnya memilih menerima gelar datuk daripada bertunangan.
Sepertinya cinta Tan ke Syarifah sangatlah dalam. Jadilah Tan muda pergi ke Belanda melanjutkan sekolah dengan membawa lara hatinya. Dari ceritanya, gadis pujaan Tan itu akhirnya kawin dengan seorang bupati di Tanah Pasundan (Jawa Barat), dan kemudian perkawinan mereka berakhir dengan perceraian.
Beberapa perempuan silih berganti hadir di kehidupan Tan, mulai saat di Belanda, dalam petualangannya di Asia Timur, dan saat kembali ke Tanah Air sewaktu Indonesia sudah merdeka. Apakah Tan sempat bertemu kembali dengan Syarifah setelah 20 tahunan berkelana? Itu yang masih menjadi misteri dari romansa cinta “Bapak Republik” itu.
Tapi sampai akhir hayatnya, Tan masih tetap lajang. Mungkin di samping kesibukan dalam pergerakan yang menyita waktunya, sepertinya cinta pertama itu sangat membekas bagi “Sang Revolusioner”. Cintanya kepada Syarifah, gadis Minang yang jadi pujaan hatinya.
Sosok Minang Sejati
Mencari sosok yang sebenar Minang, salah satu patronnya adalah Tan Malaka, yakni pandai bersilat dan mengaji (waktu kecil di kampungnya Tan Malaka belajar silat dan mengaji di surau yang ada di depan rumahnya di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Kabupaten Limapuluh Kota), avonturir (merantau) dan mengutamakan pendidikan. Umur 16 tahun Tan sudah merantau ke Belanda untuk melanjutkan sekolah.
Kemudian Tan itu seorang penulis (mampu menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisan-tulisan/sajak/prosa), visioner (pandangan jauh ke depan, dimana Tan jauh-jauh hari sudah mengeluarkan buah pikirnya tentang Republik Indonesia), pionir (pelopor), cerdik (panjang akal), independen (merdeka dalam berpikir), “tulang punggung yang lurus” atau tidak terbiasa membungkuk pada seseorang, dan “jiwa pemberontak” dalam artian melawan penindasan dan ketidakadilan.
Kemudian, salah satu yang semakin memperkuat Tan itu sosok Minang Sejati adalah dengan gelar datuk yang disandangnya, yakni Datuk Tan Malaka. Kalau di Minang, sudah bergelar datuk, maka nama kecilnya tidak dipanggil lagi. Nama kecil Tan itu Ibrahim, jadi nama lengkap Tan adalah Ibrahim Datuk Tan Malaka. Tidak banyak “orang pergerakan” dari Ranah Minang yang bergelar datuk, dan Tan adalah salah satu yang diberi amanah sebagai pemimpin kaumnya juga.
Sebagai manusia, dan orang Minang, Tan tentu jauh dari sempurna, sebab kesempurnaan itu hanya milik Allah. Tetapi Tan telah menunjukkan kepada kita bagaimana sesungguhnya orang Minang Sejati itu. Hari ini, 21 Februari 2019, genap “70 Tahun Wafatnya Tan Malaka”, dan mari kita tafakur sejenak untuk mengirim Alfatihah kepada “Sang Revolusioner”. (Pengagum Tan Malaka)