KUOTA solar bersubsidi untuk Provinsi Sumatra Barat dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Hal itu dibuktikan dengan kuota tahun 2022 yang ditetapkan BPH Migas, mengalami penurunan sebesar tiga persen dari tahun lalu.
Hal itu diungkap Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Herry Martinus pada acara bincang-bincang tentang energi bersama awak media, beberapa waktu lalu. “Pada tahun ini Sumbar mendapatkan jatah 411.000 kiloliter dalam setahun dan ini turun dari tahun lalu dari sebelumnya 500 ribu kilo liter lebih,” kata Herry.
Menurut Herry, Pemprov Sumbar sendiri sebelum mengajukan kebutuhan ke BPH Migas meminta data kepada kota dan kabupaten. Namun, BPH Migas menetapkan kuota ini solar subsidi ini secara kondisional tergantung dengan keuangan negara, ada kalanya naik dan ada kalanya turun seperti saat ini.
“Untuk menentukan kuota solar subsidi adalah BPH Migas dan pihaknya telah mengusulkan total 150 persen dari kuota tahun lalu namun yang diberikan tahun ini malah turun tiga persen. Dalam sehari kuota solar ini dilepar 1.100 liter dan ini sebenarnya sesuai dengan kebutuhan Sumbar. Tapi ada pihak yang tidak berhak menggunakan solar subsidi namun mereka tetap mengonsumsi,” ujar Herry.
Ditegaskan Herry, sesuai Perpres sudah diatur siapa saja yang berhak mendapatkan solar bersubsidi. Sedangkan pengawasan, kewenangannya berada pada pusat. Akan tetapi, menyikapi hal itu, Gubenrur Sumbar mengeluarkan SE terkait hal itu. Ke depan, untuk memperkuat pengawasan Solar bersubsidi tepat sasaran, pihaknya akan buat program digitaliasi.
“Yang paling banyak menghabiskan kuota solar subsidi adalah truk yang mengangkut hasil batubara, sawit, barang dan lainnya. Harusnya mereka tidak berhak, namun di lapangan terjadi perosalan. Kami mencoba kita imbau kepada perusahaan yang menggunakan jasa pengangkutan ini untuk menggunakan bahan bakar Pertamina Dex,” kata dia.
Sementara Sales Area Marketing PT Pertamina I Made Wira meminta agar pengendara truk mengonsumsi bahan bakar sesuai dengan regulasi yakni SE Gubernur Sumbar nomor 500/48/Perek-KE/2022 tentang pengendaliaan pendistribusian jenis bahan bakar tertentu solar bersubsidi di Sumbar yang mengatur siapa sajayang berhak mendapatkan solar bersubsidi.
“Kita imbau pengusaha truk angkutan industri untuk beralih menggukan bahan bakar non subsidi agar kuota yang ada tidak habis. Kita petakan memang truk besar ini yang menyebabkan kuota solar subsidi di Sumbar habis,” kata dia.
Dikatakannya, dari sisi regulasi, Pertamina hanya ditugsnya untuk masyarakat yang berhak. Salah satu upayanya, Pertamina sudah digitalisasi, tercatat nopolnya, dan ada batasan maksimal hariannya tidak boleh lebih dari 125 kendaraan per hari. Untuk kendaraan pribadi, travel masih diberikan batasan 40 dan kendaraan umum 60 liter.
“Hal itu membatasi agar solar ini tidak dibeli oleh sektor-sektor yang tidak berhak. Apalagi, BPH Migas, kuota setiap tahun mengalami penurunan. Di tahun 2022, Sumbar dapat jatah Solar bersubsidi 411.000 KL setelah terpotong 3 persen dibanding tahun 2021,” ujarnya.
Menurut Wira, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, kepala daerah juga sudah mengusulkan penambahan kuota berdasarkan kebutuhan masyarakat. Namun, BPH Migas yang mematok kuota tiap kabupaten kota dan tiap SPBU.
“Jika dihitung, kuota yang diberikan untuk Sumbar, itu tidak cukup sampi akhir tahun. Maka dilakukan penghematan. Yang antrian itu sebagain besar truk-truk tronton, truk sawit, truk tambang,” jelasnya.
Wira menuturkan, Pertamina melaui SPBU, ketika ada truk yang tidak berhak, selalu mengingatkan agar operator tidak memberikan Solar bersubsidi. Tapi, kondisi di lapangan, sopir-sopir terkadang memaksa dan bahkan berujung kontak fisik dengan petugas SPBU jika aturan itu diterapkan.
“Kesadaran sangat minum dan jiwa arogansi. Daripada terjadi konflik fisik, Itu pernah terjadi beberapa kali, mau tidak mau operator terpaksa mengalah. Sehingga Solar bersubsidi itu masih saja kerap dinikmati oleh kendaran-kendaraan yang tidak berhak,” katanya. (rgr)