Oleh : Zilyan Hidayati (Mahasiswi Jurusan Hukum Tata Negara UIN Imam Bonjol Padang)
Perdebatan mengenai gerakan ekstremisme tidak pernah ada habisnya. Hal ini dikarenakan isu ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan isu-isu lain, baik isu secara lokal maupun nasional.
Beberapa waktu lalu tepatnya Maret 2022 di Sumatera Barat kembali dihebohkan dengan penangkapan belasan teroris Tim Densus 88 Mabes Polri. Mengutip kompas.com edisi 27/3 menyebutkan penangkapan tersebut terjadi di daerah Payakumbuh, Tanah Datar, dan Dharmasraya. Akumulasi terakhir dari sejumlah tangkapan teroris di Indonesia berada di angka 56 terduga pelaku. Ini tentu merupakan angka yang banyak di pertengahan tahun.
Pertanyaan logisnya adalah mengapa hingga saat ini terorisme sebagai kelanjutan ekstremisme masih tumbuh subur dan sukar ditemukan pola penangkalan yang efektif? Jika dirunut dari segi regulasi, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak mengatur tindakan seseorang yang mendukung dan mengajak orang lain untuk mendukung gerakan radikal. Dalam artian, secara regulatif Undang-Undang Terorisme hanya memberikan dominasi pada aspek penindakan. Padahal istilah pemberantasan adalah gabungan dari dua makna yakni pencegahan dan penindakan. Barangkali ini lah salah satu alasan mengapa penangkalan selalu saja menjadi pangkal masalah terorisime dari masa ke masa. Tidak berlebihan rasanya jika mengatakan PR besar saat ini adalah bagaimana mengupayakan penangkalan terorisme secara masif di denyut nadi kehidupan masyarakat melalui penguatan kesadaran reseptif (terbuka;mau menerima) entah itu kesadaran selaku warga negara maupun umat beragama, sehingga terorisme tidak lagi dilihat dari kedalaman apriori yang disematkan pada agama Islam secara skeptis sebagai agama mayoritas di Indonesia.
Terorisme sebagai Embrio
Salah satu bentuk kesadaran reseptif dalam menangkal terorisme adalah melihat radikalisme dan esktremisme secara konseptual sebagai rahim gerakan terorisme. Radikalisme acap kali disandingkan dengan terorisme. Padahal kedua anasir ini jelas berbeda secara terminologi. Radikalisme bermakna paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara kekerasan; sikap ekstrem dalam aliran politik. Tujuannya yang dibangun dari pemahaman ini hanya satu, terjadinya perubahan yang revolusioner.
Jika di dalam pemahaman radikalisme ada tujuan revolusioner, maka terorisme adalah gerakan untuk mewujudkan tujuan tersebut. Gerakan yang dimaksud itu lah yang dikenal dengan gerakan-gerakan destruktif dengan menggunakan kekerasan sebagai instrumen utama. Semula paham radikalisme memang berangkat dari persepsi politik, namun dalam perjalanannya justru muatan agama lah yang dikedepankan sebagai komoditas. Maka, selanjutnya yang menjadibagianpenting dalammembangunkesadaranreseptifadalah memahami kembali ajaran agama Islam yang orisinal yang selamainidiinterpretasikansecarasubjektif.
TinjauanLiteratur Islam
Dalam literatur Bahasa Arab terorisme selaras dengan kata al-irhab, yang berarti intimidasi atau ancaman. IIstilah tersebut digunakan al-Qur’an untuk melawan musuh Tuhan (Q.S. Al-Anfal/8: 60). Karenanya, jika mencermati gerakan Islam Politik, pandangan fundamentalistik dan gerakan radikalistik seringkali digunakan untuk melawan musuh Tuhan. Bagi mereka, Barat disebut-sebut sebagai salah satu simbolisasi musuh Tuhan tersebut. Bentuk teror dapat berupa pembunuhan, penganiayaan, pemboman, peledakan, pembakaran, penculikan, intimidasi, penyanderaan, dan pembajakan. Semua itu dapat menimbulkan perasaan panik, takut, khawatir, gelisah, dan ketidakpastian.
Adapunpemahaman yang dapatditengahkanmeyikapipersoalan di atasadalahpandangan Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shabuni, seorangmufassir danulamaasalSuriah. Menurutnya, Islam dengansyariat yang abadisenantiasamemeliharakehormatanmanusia. Setiapbentuk penganiayaan jiwadan kehormatan manusiamerupakankejahatan yang sangatberbahaya. Makaaksi terorisme merupakan bentuk kezailman yang nyata di dunia.
Terorismeadalah kekerasan berdalih agama, yang acap kali ditudingkan kepada umat Islam. Sesungguhnya tidak adasatu pun landasan yang kuat yang melegitimasiterorisme mendapat dukungan normatif dari Islam. Maka, idealnya ketikamemandang kekerasan-kekerasan yang menodaikesucianajaran Islam mesti dipandang sebagai bagian tindakkriminal yang harusdiselesaikan layaknya penyelesaian hukum kriminal lainnya. Karena, Islam hadir dengan karakter keberagamaan yang moderat, yang memahami dinamika kehidupan secara terbuka dengan menerima pluralitas pemikiran yang lain (the other). Keberagamaan yang moderat akan melunturkan polarisasi antara fundamentalisme dan sekularisme dalam menyikapi modernitas dan perubahan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik suatu pemaknaan bahwa terorisme sejatinya merupakan bahaya laten yang mengancam keselamatan tatanan sosial di masyarakat. Tidak ada argumentasi yang dapat menjadi pembenaran terhadap ide dan gerakan ini. Jika terorisme dipandang sebagai masalah individu akibat penyebarluasan dari kelompok maka salah satu alernatif tindakan prevensi yang dapat diupayakan adalah menguatkan penyadaran diri sendiri bahwa terorisme baik secara ide, pemahaman, maupun tindakan adalah sesuatu yang salah dari segi apapun, tidak hanya dari segi hukum, sosial, tetapi juga segi agama. (**)