Burhan berterima kasih karena sudah diingatkan akan responden yang menyembunyikan pilihan mereka itu. Dia kembali mengingat Pilkada Sumbar 2020 saat Indikator disebutnya cukup sukses dalam rilis hasil survei. Hasil survei sebelum pencoblosan Indikator persis dengan hasil Pilkada Sumbar.
Dia menyebut, hasil Pilgub Indikator cukup bagus, karena sebulan sebelumnya sudah ditemukan hasil akurat. Indikator juga telah melakukan banyak survei untuk Kabupaten dan Kota di Sumbar. Burhan malah menawarkan meminta testimoni dari Pengurus DPP NasDem Willy Aditya yang tahu soal survei itu. Paling tidak Indikator bisa menangkap preferensi warga Sumbar, meski kehati-hatian perlu terus dilakukan.
Tiga orang hebat, Burhan, Effendi dan Andri yang memperdebatkan ‘kejujuran’ urang awak itu patut diapresiasi. Hal itu tentu menjadi bahan evaluasi bagi kita yang merasa orang Minang yang berfalsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Kejujuran sebenarnya adalah hal utama yang melekat bagi diri kita sebagai orang muslim.
Karena, sebagai orang Islam, pastinya meneladani sifat Rasul yang utama, sidiq, artinya benar atau selalu berkata jujur, amanah, artinya dapat dipercaya dan tidak pernah mengingkari sesuatu, tabligh, artinya menyampaikan wahyu kepada seluruh umat atau pengikutnya dan fathonah, artinya cerdas, pandai serta bijaksana. Agak berlebihan rasanya, kalau menyebut orang Minang kurang jujur saat ditanya pilihan politiknya oleh surveyor yang datang ke rumahnya.
Bagi orang Minangkabau, raso jo pareso-lah yang sangat diutamakan dalam menjalankan kehidupan. Bahkan, ini dapat disebutkan sudah menjadi dasar bagi masyarakat Minangkabau yang disebut Effendi berkali-kali egaliter. Egaliter yang berarti membuat semua berada dalam derajat yang sama, tidak ada kasta-kasta dalam Minang. Semua orang Minang setara dalam nilai dasar, sosial atau status moral.
Raso jo pareso ini dapat disebut sebagai saling segan menyegani, bertenggang rasa dan saling menghargai di tengah masyarakat. Dengan begitulah urang awak dari dulu disegani dan disebutkan menjadi orang yang paling banyak terlibat dalam mendirikan negara ini. Seperti M Hatta, Sjahrir, Agus Salim, Tan Malaka dan lainnya. Bahkan terus terjaga sampai era kemerdekaan dengan adanya M Yamin, Hamka dan lainnya.
Ketika para surveyor datang ke rumah mereka, mungkin saja ada yang merasa sungkan untuk menjawab secara langsung atau tegas. Mereka akan memastikan dulu, siapa yang datang, dan apa yang diinginkan orang itu. Apakah benar-benar bertanya, atau sekadar ‘palapeh tanyo’ saja sebagai kewajiban yang telah mereka ambil dari lembaga survei.
Andai semua surveyor diberikan pemahaman yang baik tentang bagaimana orang awak atau urang Sumbar, maka jawaban yang mereka dapatkan adalah yang ril atau sebenarnya. Berbeda kalau ‘dimainkan’ dengan beragam questioner atau daftar pertanyaan dan sejenisnya. Pasti mereka hanya akan menjawab sesuai apa yang dicari atau diharapkan semata.
Melihat lembaga survei yang terakhir merisil preferensi masyarakat Sumbar dalam Pilpres dan Pileg, pastilah yang dijawab responden yang sebenarnya. Apalagi ada pula yang namanya supervisor surveyor yang mengontrol kualitas dari wawancara itu sendiri. Mereka dengan sigap mengulang kembali semua yang ditanyakan surveyor awal. Jadi, tak mungkin pulalah orang awak berbohong terkait pilihan mereka hari ini.
Saya sebagai orang Minang merasa harus memastikan, kalau kejujuran masih menjadi barang paling original bagi kita. Bahkan, proklamator Indonesia, Mohammad Hatta begitu sering menyatakan, “Tak ada harta pusaka yang sama berharganya dengan kejujuran.” Kejujuran adalah harta yang paling berharga, tak hanya oleh orang Minang atau Sumbar, tapi semuanya. Se-Indonesia dan sedunia. (Wartawan Utama)




















