Oleh: Reviandi
Sebuah hal sedikit mengusik ‘raso-raso’ saat mengikuti rilis survei Indikator Politik Indonesia terkait Capres dan Pileg di Sumatra Barat (Sumbar). Dalam rilis yang digelar melalui aplikasi Zoom itu, Peneliti Utama Indikator Burhanuddin Muhtadi PhD dan Peneliti Senior Indikator Dr Rizka Halida berbagi peran dalam menjelaskan kepada peserta yang ikut, sekitar 100 orang.
Bukan hasil yang membuat ragu, karena lembaga survei ini adalah yang terbaik di Indonesia. Begitu dipercaya untuk menyajikan survei baik lokal dan pusat selama beberapa tahun terakhir. Nama Burhanuddin adalah jaminan kalau survei ini sangat kredibel dan tidak diragukan. Kita kesampingkan soal hasil, karena sudah marak dibahas dimana-mana.
Selain dari Indikator, ada beberapa penanggap yang dihadirkan Burhan dkk. Mereka adalah pakar komunikasi politik Effendi Gazali, Direktur Survei Spektrum Politika Andri Rusta dan dosen Ilmu Politik FISIP Unand Padang Ilham Aldelano Azre. Dari tiga nama ini, Effendi dan Andri seperti ‘bersepakat’ terkait hasil survei yang dihasilkan. Mereka menyebut, Indikator harus berhati-hati dengan jawaban responden.
Effendi malah secara berulang-ulang menyatakan ada kecenderungan orang Minang menyembunyikan pilihan sebenarnya. Apalagi ketika dikaitkan dengan approval rating atau tingkat penerimaan/kepuasan terhadap Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Dia menyebut, angka 55 persen yang disampaikan Indikator dalam rasionalisasinya lebih rendah.
Biasanya, kata Effendi, orang Sumbar punya dua kata kunci terhadap survei. Biasanya apa yang disampaikan tim survei akan dijawab ‘yolah’ atau ‘iyolah, yo’. Artinya, tulis saja seperti yang diharapkan penanya. Sebagai penghargaan terhadap apa yang dilakukan. Bahkan, secara lebih panjang ada filosofi ‘iyokan nan di urang, lalukan nan di awak,’ Artinya, iyakan yang disebut orang, tapi kerjakan yang kita inginkan.
Intinya, orang Minang tidak ingin mengecewakan orang yang sudah susah-susah datang kepada mereka. Kalau bisa ditulis sedang, ya sedang saja. Karena tidak mau mengungkapkan penolakan atau rendah. Intinya, ada yang disembunyikan oleh orang Minang saat berhadapan dengan tim survei atau surveyor.
Andri Rusta dari Spektrum Politika juga mengungkapkan hal yang sama. Katanya, lembaga survei tingkat lokal punya kekhawatiran saat melakukan survei. Ada peluang responden menyembunyikan pilihan sebenarnya. Ketika membaca pilihan, tim yang turun harus hati-hati. Responden tidak menjawab secara jujur. “Asumsi itu ada, meski belum ada research,” kata Andri.
Apa yang disampaikan Effendi dan Andri agak mirip, meski mereka tidak menuding urang awak yang ditemui oleh petugas survei berbohong atau tidak jujur. Jauh, masih jauh dari itu. Namun ini soal politik, karena Sumbar adalah “oposisi” dari pemerintahan hari ini. Dua kali Pilpres, Sumbar tak ikut pilihan nasional. Dua kali Jokowi gagal total, 2014 hanya dapat 23 persen, 2019 jauh lebih parah, 13 persen saja. Dukungan hampir full ke Prabowo.
Sebagai tuan rumah, beruntung Burhanuddin sangat memahami apa yang disampaikan dua orang yang kesehariannya mengajar ilmu politik itu. Burhan mengatakan, kalau bicara approval rating, dia menyebut benar ada kenaikan terhadap Jokowi. Survei Juni-Juli 2023 ini adalah pertama kalinya angka itu di atas 50 persen. Sebelumnya memang di angka 30-40 persen saja.
Burhan menyebutkan, saat mereka survei, kelemahan soal ‘kejujuran’ itu sudah diantisipasi. Bahkan, dari 1.620 responden yang diwawancarai surveyor secara bertemu langsung, sebanyak 20 persennya ditemui ulang oleh supervisor. Dan semua yang ditulis oleh pewawancara di awal tidak ada perbedaan signifikan dengan yang didapat oleh supervisor.