Mencekik

Apa yang tidak mencekik hari ini? Semua serba susah. Banyak yang mengeluh. Banyak yang merasa, ini zaman terburuknya sebagai warga negara. Dulu, bayar listrik hanya Rp50 sampai 100 ribu. Kini, kalau tak Rp400 ribu, tak cukup daya sebulan. Apalah daya, itu nan pokok, wajib dibayar.
Ibarat kata, kalau uang masuk sekarang susah. Kalau uang keluar malah parah. Cobalah berkeliling ke pelosok-pelosok Sijunjung, semua petani “gotah” mengeluh. Kini, harga karet cuma Rp4-5 ribu per kilogramnya. Padahal, dulu zaman Orde Baru saja bisa Rp23 ribu. Tak susah amak-amak belanja ke pasar. Karena, dengan sekilo getah karet saja sudah aman makan sehari-hari.
Bahkan, saya berkali-kali bertemu warga yang mengaku tak tahu lagi mau mengadu kemana. Jangankan getah yang memang susah dijual sekarang, harga sawit saja Nauzubillah. Sekilo cuma Rp300-500 saja. Mau apa para petani dengan harga itu. Biaya panennya saja lebih segitu. Belum lagi ongkos ini dan itu.
Kalau tak dipanen, rusak pula batang sawit. Batang yang telah menjadi batang kehidupan mereka berpuluh-puluh tahun. Kini, pasar-pasar tradisional di daerah-daerah yang mengandalkan hidup dari karet dan sawit sepi. Kata seorang amak di Tanjung Gadang, Sijunjung, bisa main bola anak-anak di pasar kita. Apalah daya, daya beli itu bana yang kena sekarang. Innalillah.
Apalagi yang harus diperbuat Kabupaten/Kota di Sumbar agar warganya tak menjerit tercekik. Mungkin semua teori sudah mereka minta kepada para ahli, untuk diterapkan. Tapi, sekali lagi ini bukan soal hasil. Bukan soal kualitas produk dan kuantitasnya. Ini soal harga. Bukan gawe pemerintah daerah, provinsi, pusat pun sudah angkat senjata, eh angkat tangan. Bendera putih untuk penentuan harga komoditi ekspor seperti sawit (CPO) dan getah. Meski akhir-akhir ini dicoba lagi. Biar petani senang.
Pekan lalu, Pak Presiden Jokowi sempat menyinggung soal perkebunan sawit dan karet saat berkunjung ke Sumatera Selatan. Tapi, itu tentu hanya sekadar harapan. Karena kenyataannya, petani masih memekik. Mereka tak ingin apa-apa lagi. Bahkan mungkin tak perlu pula jalannya diperbaiki, dicor beton, aspal hotmix dan sejenisnya. Hanya meminta, belilah hasil panen secara wajar. Jangan lagi pemerintah seperti menyerah dengan para terduga mafia perdagangan luar negeri.
Soal sawit memang berat hari ini. Katanya produk olahan CPO Indonesia tak lagi laku di luar negeri. Lawannya berat, minyak bunga matahari dan kedelai yang ramah lingkungan Karena itu harga anjlok. Karet juga seperti itu. Kata petani di Bukit Bual, Sijunjung, mereka menjual karet sangatlah murah. Tapi, kalau mau membeli ban sepeda motor atau mobil, wow mahalnya. Padahal ban mobil dibuat dari karet, mungkin dari karet-karet yang mereka panen.
Ada angin segar berhembus saat para Gubernur se-Sumatera menggelar rapat koordinasi (rakor) di Padang pekan lalu. Mereka sepakat, langkah menaikkan harga karet adalah dengan meningkatkan pemakaian dalam negeri. Kalau masih mengandalkan permintaan luar negeri (ekspor), karet akat semakin terjepit. Petani semakin tercekik.
Para “goodbener” sepertinya sepakat untuk menjadikan karet-karet petani sebagai campuran aspal. Konon, kualitasnya lebih baik dari yang ada sekarang. Mungkin “koalisi” pembangunan infrastruktur ala Presiden Jokowi bisa dikolaborasikan dengan pembelian getah karet petani. Agar harga bisa distabilkan, dan petani mulai tersenyum. Karena, sekolah belum benar-benar gratis. Harga BBM masih tinggi.
Itu langkah yang mungkin saja bisa diambil pemerintah tahun depan. Dak usah singggung-singgung Pemilu Legislatif dan Pilpres. Bekerja sajalah untuk rakyat. Agar mereka bisa tersenyum, mengawal pertumbuhan anak-anaknya. Yang terancam tak berpendidikan dan gizi buruk. Karena biaya hidup benar-benar mencekik.
Soal sawit, Presiden Jokowi mengemukakan, pemerintah sudah melakukan berbagai langkah untuk mendongkrak harga sawit yang dalam beberapa tahun ini mengalami kemerosotan. Pemerintah sudah 4 tahun mengirimkan tim ke Uni Eropa dan berbagai negara meski ini juga tidak mudah.
“Tapi sebetulnya ini urusan bisnis, urusan jualan mereka, juga jualan yang namanya minyak bunga matahari. Kita jualan minyak kelapa sawit, sehingga masuk ke sana sekarang mulai dihambat-hambat,” kata Presiden di Palembang.
Menurut Jokowi, awal tahun yang lalu dirinya juga ketemu Perdana Menteri China untuk meminta agar negara itu beli lebih banyak dari sekarang. “Saya minta tambahan, saya to the point aja saya ngomong ya minta agar produksi disini bisa diserap sehingga harganya bisa naik. Ada tambahan 500 ribu ton,” ujarnya.
Perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia ini sudah berada pada posisi yang sangat besar sekali, nomor satu di dunia. Luasnya 13 juta hektare, baik yang ada di Sumatera, Kalimantan, Papua, juga ada di Jawa. Produksinya setiap tahun 42 juta ton.
Nah, kalau untuk sawit, Pusat sendiri yang turun tangan. Meski masih jauh dari berhasil. Karena memang, sawit hanya bisa dipakai sebagai pencampur BBM biodisel yang penggunaannya mulai marak. Tapi, tentu tak bisa menyerap hasil produksi raksasa Indonesia secara signifikan. Artinya, memastikan Eropa dan Amerika serta China membeli CPO masih langkah satu-satunya yang efektif.
Untuk itu, alangkah baiknya jika para kepala daerah tak lagi memokuskan diri untuk meningkatkan produksi karet dan sawit para petaninya. Carilah alternatif lain, agar petani tak terlalu susah. Tak terlalu tercekik. Soal sayur-mayur juga ternyata tak berprospek bagus hari ini. Kalau ketua Kadin Sumbar Ramal Saleh di berbagai kesempatan menganjurkan petani beralih menanam vanile, seperti di lampung. Ah, seperti apa pula ini. Biarlah bapak tu fokus kampanye DPD RI dulu. Usai itu, baru kita tanya lagi. (Reviandi)

Exit mobile version