TIGA hari belakangan, jagad maya heboh dengan kabar tentang dosen Unand Dewi Angraini yang hartanya terancam disita Lembaga Piutang Negara sebab berutang ratusan juta untuk biaya anaknya, yang berpenyakit jantung bocor di Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita, Jakarta. Seyogyanya, tagihan berobat itu dibayarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, namun hanya karena lupa mengurus Surat Eligibilitas Peserta (SEP), BPJS emoh membayar. Mereka berkilah. Dewi dan suami-nya menanggung derita.
Kabar itu menyeruak begitu cepat dan memantik geram netizen. Birokrasi berbelit yang disuguhkan petugas BPJS kepada keluarga pasien dianggap sangat tidak masuk akal. Apalagi terhadap Dewi, yang datang dari daerah untuk berobat ke Jakarta. Bayangkan paniknya seorang ibu menggendong anaknya yang menderita sakit parah harus luntang-lantung di rumah sakit sebesar RSAB Harapan Kita dan dituntut pula mengikuti proses di BPJS yang memakan waktu banyak. Kalau akhirnya Dewi lupa mengurus SEP, Saya rasa wajar saja.
Inilah yang memantik murka. Sampai kini, Dewi dan suaminya belum tahu, bagaimana cara melunasi hutang ke RSAB Harapan Kita, di tengah bersikukuhnya BPJS Kesehatan untuk tidak melakukan pembayaran. Dari ruang-ruang diskusi, group Whatsapp, hingga linimasa, orang-orang menyuarakan empati kepada Dewi, terkhusus anaknya, Khiren Humaira Islami yang menderita Penyakit Jantung Bawaan (PJB) dengan tipe Ventricular Septal Defect (VSD) pada sekat bilik jantung atau lazim disebut jantung bocor. Mestinya, petugas BPJS mengingatkan. Memberikan pelayanan maksimal, bukan malah mempersulit, hingga akhirnya menggantungkan hutang ratusan juta ke leher anggotanya, yang setiap bulan membayar untuk mendapatkan pelayanan. Rasa simpati itu, kian lama menjalar ke seantereo negeri.
Akhirnya rasa geram itu menggumpal menjadi gerakan #KoinUntukBPJS. Gerakan ini digagas oleh sekelompok orang yang peduli terhadap nasib Khiren dan keluarganya. Dengan pengumpulan koin, setidaknya meringankan beban, dan memulai perubahan, hingga tak ada lagi peserta BPJS yang bernasib sama dengan Dewi.
Koin-koin tersebut dikumpulkan sebanyak mungkin, untuk kemudian diserahkan ke BPJS, sebagai bentuk perlawanan, sekaligus sindiran terhadap birokrasi konflik yang diterapkan BPJS. Koin yang terkumpul, nantinya juga akan jadi pembayar hutang Khiren ke RSAB Harapan Kita.
Gerakan yang muncul dadakan ini menandakan dua hal. Pertama, pertanda kalau rasa sosial masyarakat belum tergerus. Perasaan iba, prihatin dan merasakan derita orang lain, masih kental. Masyarakat kita, belum terlalu autis untuk hal-hal kemanusian. Mereka masih mau bergenggaman tangan, saling rangkul, meringankan beban saudara-saudaranya. Fenomena inilah yang tergambar lewat kasus Khiren. #KoinUntukBPJS adalah representasi dari rasa sosial yang tinggi.
Pertanda kedua, bisa jadi, semua ini karena rasa muak berlipat-lipat masyarakat yang sudah begitu memuncak terhadap pelayanan BPJS yang kata kawan saya, centrangprenang. Berbelit, dan penuh dengan tetekbengek tak penting. BPJS yang di awal pendiriannya sangat diharapkan menjadi badan pelayanan yang mumpuni, malah berubah menjadi menakutkan. Setiap mendengar nama BPJS, yang tergambar di masyarakat adalah tentang pelayanan yang tak maksimal. Bisa jadi, #KoinUntukBPJS menjadi momentum perubahan pelayanan BPJS ke arah yang lebih baik.
Di akhir kata, penulis mengajak, siapa saja yang merasa peduli, mari bergabung dengan gerakan #KoinUntukBPJS dan membangun empati terhadap Khiren. Inilah saatnya kita bergerak, melawan arus, demi perubahan ke arah yang lebih baik. (Benny Okva/Wartawan POSMETRO)