Nasaruddin juga menegaskan pentingnya proses indonesianisasi ajaran agama. “Islam bukan dari Indonesia, Hindu bukan dari Indonesia, Kristen pun bukan dari Indonesia. Tapi semua agama itu tumbuh dalam konteks kebudayaan Indonesia. Bukan arabisasi, bukan indiaisasi, bukan westernisasi,” tegasnya.
Menurutnya, tantangan geopolitik global saat ini justru menguji ketangguhan nilai-nilai kebangsaan Indonesia. Ketika banyak negara terpecah karena fragmentasi identitas, Indonesia tetap kokoh berkat pendekatan moderat dan inklusif.
Sebagai contoh, Nasaruddin menyebut peran besar perempuan di ruang publik di Indonesia. “Pasar-pasar tradisional kita dipenuhi pedagang dan pembeli perempuan. Masjid kita pun terbuka untuk diisi bersama. Hal ini tidak bisa dibangun dengan pendekatan tekstual yang kaku, tapi harus konÂtekstual,” ujarnya.
Di mata dunia, lanjut Nasaruddin, Indonesia telah menjadi model Islam moderat yang damai, toleran, dan mampu berdialog dengan demokrasi. “Islam Indonesia bukan Islam pinggiran. Justru kita menjadi cahaya baru dari Timur yang berhasil memÂperÂtemukan iman, kebudayaan, dan kemanusiaan,” katanya.
Ia juga mengingatkan pentingnya kesadaran geopolitik dan geostrategis dalam menjaga keberÂlangsungan negara. Menurutnya, geopolitik tidak bisa dilepaskan dari geodemografi dan geobudaya. “Indonesia memiliki keuntungan geografis dan pluralitas budaya yang harus dikelola dengan visi kebangsaan yang kuat,” katanya.
Menutup pernyataannya, Nasaruddin menegasÂkan bahwa nasionalisme inklusif bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab umat. “Agama harus menjadi energi positif untuk merawat persatuan, bukan alat politik identitas yang memecah belah bangsa,” tandasnya. (*/rom)















