“Ada niat melaporkan itu ke kepala polsek dan camat, tetapi bagaimana kami mau lapor, nanti kami dibilang berbohong kalau tidak terjadi (ancaman) itu. Artinya, antara iya dan tidak (ragu-ragu), saya mau pergi ke kepala polsek, camat, dan lurah,” kata Dachi.
Minggu sore, saat Dachi dan anak-anak didampingi orangtuanya berkegiatan di rumah doa, Dachi diajak ketua RT dan ketua RW ke sebuah warung terdekat. Kemudian, terjadi keributan antarwarga yang ia tidak tahu siapa. Ia memohon agar keributan itu tidak berlanjut.
“Ketika pak RW menyatakan, ’Bubarkan itu, jangan diizinkan,’ ramai orang memerangi itu (merusak rumah doa). Dalam peristiwa itu, ada dua anak perempuan jadi korban kekerasan dan mendapat perawatan medis. Anak-anak itu diduga mendapat pukulan dengan kayu dan tendakan dari pelaku. Saya dan para jemaat, termasuk anak-anak, trauma atas insiden penyerangan warga itu,” jelas dia.
Sementara, keterangan Ketua RW 09 Kelurahan Padang Sarai Burhanuddin perihal insiden pembubaran kegiatan dan perusakan rumah doa umat Kristen itu berbeda. Ia mengaku mengajak Pendeta Dachi ke warung agar kegiatan belajar anak-anak tidak terganggu.
“Tahu-tahu orang warung itu mau menentang kita. Minta bubarkan orang itu, bawa sana. Bukan orang di sana (di rumah doa) dibubarkan. Tidak saya suruh membubarkan itu,” kata Burhanuddin dalam mediasi.
Menurut Burhanuddin, sebelum hari kejadian, ia tidak kenal dengan Pendeta Dachi. Pendirian rumah doa itu juga tidak dilaporkan kepadanya selaku ketua RW. Sore itu, Burhanuddin mengaku, ia hendak meminta keterangan Dachi atas informasi pembangunan gereja yang merebak di masyarakat.
“Keresahan di masyarakat terjadi ketika ada informasi dari petugas yang hendak memasukkan listrik menyebut tempat itu sebagai gereja. Saya tidak dapat informasi bahwa itu merupakan rumah doa. Terkait insiden ini, saya mengajak insiden itu dapat diselesaikan secara damai,” ungkap dia.
Ketua RT setempat, Syamsir, menegaskan kedatangan massa warga awalnya hanya untuk mengklarifikasi tentang perubahan status bangun kepada pendeta. Awalnya yang diketahui warga sebagai rumah singgah, ternyata sudah menjadi gereja. Namun, di saat dirinya mengklarifikasi kepada pemilik bangunan, terjadi kalimat provokasi. Kalimat tersebut yang jadi pemicu amarah warga.
“Ada pemicu, ada antara dia (jemaat) menyampaikan perang antar agama saja lagi. Itu yang kami sayangkan. Jadi itu pemicu timbulnya emosi massa hingga melakukan melakukan perusakan. Padahal masyarakat pertama itu datang ke sana meninjau baik-baik. Mempertanyakan apa yang dilakukan di sana. Ada juga kalimat orang Islam tidak berpendidikan,” sambung Syamsir.
Dikatakan Syamsir, warga setempat sejak awal sudah mewanti-wanti kepada pemilik bangunan perihal perubahan status bangun. Sebab, bangunan rumah itu terus berubah status. Pertamanya dia membangun, kedua rumahnya mau ditepati, ketiga ada untuk pendidikan anak, pendidikan agama. Anak yang butuh nilai di sekolah di sana dibina.
“Karena di sekolah negeri itu untuk memberikan mata pelajaran agama tidak ada di sekolah. Makanya dilaksanakan di sana. Selaku RT, pada saat itu ia telah menyampaikan agar pemilik bangunan mengurus izin perubahan status bangunan. Akan tetapi, tiba-tiba warga mendapatkan informasi bawa rumah itu sudah menjadi rumah doa atau gereja,” kata Syamsir.
Syamsir mengungkapkan, selaku ketua RT dirinya tidak pernah memberikan izin tentang tempat ibadah. Ditambah lagi warga melihat do rekening listrik tertulis rumah doa/gereja yang membuat warga geram.
“Itu yang sangat saya sesalkan. Makanya masyarakat sudah pusing untuk berpikir, karena mereka tetap melakukan ibadah sampai jam 10 malam,” ucapnya.
Ia menegaskan warga sekitar tidak intoleran. Hal ini dibuktikan dengan lingkungan sekitar bermukim warga berbagai suku, mulai Nias, Batak hingga Minang.
“Warga kami rukun dan damai. Ada batak, Nias, Minang. Kami tidak intoleran, perlu diketahui, di RW 9 ada empat RT, pemukiman warga suku Nias ada di tiga RT. Tapi sejak ada pemilik bangunan ini, orang yang ke tempatnya 90 persen warga Nias dari luar,” jelasnya.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUP) Kota Padang Salmadanis juga menyerukan agar insiden ini diselesaikan secara damai dan tidak berlanjut ke ranah hukum. “Kita harus membuat pernyataan damai malam ini. Hal-hal yang terkait dengan apa yang terjadi, itu pun tidak kita bawa sebagai BB (barang bukti) ke ranah hukum,” katanya.
Dalam mediasi itu, kuasa hukum GKSI Anugerah Padang, Yutiasa Fakho, menegaskan, akan melaporkan insiden pembubaran kegiatan dan perusakan rumah doa itu ke kepolisian. Proses hukum ditempuh demi mendapatkan keadilan dan kepastian hukum bagi para korban.
“Proses hukum tetap kami lanjutkan, tetap kami kawal. Untuk soal perdamaian, sebagai umat beragama tentu kami memaafkan. Tapi, perbuatan para oknum itu tidak dapat kami maafkan. Proses hukum tetap kami lanjutkan,” tutupnya. (brm)












