PADANG, METRO–Jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah Padang yang sedang melaksanakan ibadah dan pendidikan agama di sebuah rumah kontrakan di RT 03 RW 09, Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, dibubarkan oleh sekelompok massa, Minggu (27/7) 16.00 WIB
Bahkan, pembubaran itu diwarnai aksi anarkis. Kaca-kaca jendela rumah kontrakan itu dilempari menggunakan batu dan kayu. Bahkan, berbagai perlatan di rumah juga dihancurkan dan aliran listrik diputuskan. Akibat inisiden itu, dua anak dikabarkan mengalamu luka hingga harus dilarikan ke rumah sakit.
Peristiwa itu dibenarkan oleh Pendeta GKSI Anugerah Padang, F Dachi. Ia menceritakan, pada sore itu rumah doa sedang digunakan untuk beribadah bagi orang dewasa dan mengajar sekitar 30 anak tentang firman Tuhan.
Dikatakan Dachi, saat itu, dirinya tiba-tiba ia dipanggil oleh ketua RW 09 dan RT 03 untuk berbicara di belakang rumah. Namun, tanpa diduga-duga, massa yang berkumpul mulai meneriakkan tuntutan pembubaran.
“Massa yang sudah berkumpul, langsung teriak ‘bubarkan, bubarkan!’ dan mulai melempari rumah. Kaca jendela pecah, peralatan dihancurkan, listrik diputus. Anak-anak ketakutan dan menangis,” ujar Dachi kepada wartawan.
Akibat serangan tersebut, kata Dachi, dua anak yang sedang mengikuti kegiatan belajar terluka dan dilarikan ke RS Yos Sudarso.
“Mereka dilempar dan dipukul dengan kayu, juga ada yang ditendang. Anak-anak ini umurnya 8 dan 11 tahun,” ucapnya.
Dachi menerangkan bahwa bangunan yang digunakan bukan gereja, melainkan rumah doa yang difungsikan sebagai tempat pendidikan agama untuk anak-anak jemaat yang kesulitan akses ke gereja di pusat kota.
“Kami tidak mendirikan gereja. Rumah ini kami sewa untuk pendidikan. Anak-anak ini butuh nilai agama di sekolah, dan itu kami bantu berikan,” tuturnya.
Dachi menjelaskan bahwa jemaat GKSI di Padang Sarai terdiri atas sekitar 21 kepala keluarga, dengan total kehadiran yang bisa mencapai seratus orang. Selama tiga tahun terakhir, katanya, mereka telah melakukan pembelajaran agama dari rumah ke rumah tanpa kendala. Ia menyebut bahwa rumah doa itu baru aktif tiga bulan terakhir.
Dari informasi yang diperoleh Dachi, massa yang melakukan pembubaran diduga telah menggelar rapat bersama tokoh RT dan RW setempat pada malam sebelum kejadian. Ia menyebut bahwa massa menganggap rumah doa tersebut sebagai gereja yang dibangun tanpa izin.














