PEMERINTAH Kabupaten Solok menaruh perhatian serius terhadap kelestarian ikan bilih (Mystacoleucus padangensis), salah satu spesies ikan endemik Danau Singkarak yang kini menghadapi ancaman kepunahan akibat eksploitasi berlebih dan kerusakan lingkungan.
Bupati Solok Jon Firman Pandu bersama Wakil Bupati Candra menegaskan bahwa pemanfaatan sumber daya alam harus tetap memperhatikan aspek keberlanjutan. Hal ini disampaikan dalam rangka mendukung pembahasan yang digelar dalam forum Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan banyak pihak nasional dan internasional, termasuk GAIN, KKP-RI, Bappenas, Bapanas, KLHK, BRIN, LSM, perguruan tinggi, serta sektor swasta dan masyarakat.
Kepala Dinas Perikanan dan Pangan Kabupaten Solok, Ir. Syoufitri, MM, yang menjadi narasumber dalam FGD tersebut, mengangkat tema “Pemanfaatan dan Pelestarian Ikan Bilih Sebagai Sumber Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Solok”.
Menurut Syoufitri, ikan bilih selama ini menjadi sumber mata pencaharian masyarakat sekitar Danau Singkarak dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Namun, peningkatan intensitas penangkapan tanpa kendali serta perubahan teknologi alat tangkap menjadi ancaman serius bagi populasi ikan tersebut.
“Ikan bilih adalah spesies fototaksis positif, sangat sensitif terhadap cahaya. Modernisasi alat tangkap seperti bagan dengan lampu justru memperparah kondisi karena ikan dalam semua ukuran tertarik ke satu titik dan ditangkap sekaligus,” jelasnya.
Syoufitri memaparkan bahwa tren produksi ikan bilih mengalami penurunan signifikan. Data menunjukkan bahwa sejak tahun 2002 hingga 2021, rata-rata produksi lestari menurun sebesar 1,33% per tahun, dan bahkan mencapai 4,74% per tahun sejak 2006. Produksi tertinggi tercatat pada 2013 sebanyak 970,07 ton, namun anjlok menjadi 680,58 ton pada 2015.
Penurunan ini menandakan kondisi overfishing yang serius, diperparah oleh faktor-faktor lain seperti pencemaran perairan, kerusakan habitat akibat pembangunan di sekitar danau, serta meningkatnya volume sampah plastik.














