“Kami yakin pelaporan kmi ini bisa naik ke tahap penyidikan setelah dilakukannya gelar perkara. Kami juga menyoroti masih beroperasinya rumah makan serta lokasi pemandian di Taman Wisata Alam TWA Mega Mendung Lembah Anai pasca dilakukannya penertiban oleh Kementrian Kehutanan RI pada tanggal 25 Juni 2025 silam,” tutur dia.
Menurut Tomi Adam situasi itu mengindikasikan bahwa Badan Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) selaku penanggung jawab kawasan telah melakukan pembiaran dan lalai dalam melakukan penjagaan serta menegakkan aturan di lokasi rawan bencana yang telah sempat hancur luluh lantah di hantam bencana Galodo pada tanggal 11 Mei 2024 lalu itu.
“Pascapenertiban harusnya BKSDA melakukan patroli atau penjagaan untuk mencegah terjadinya pelanggaran berulang. Namun itu tidak dilakukan. Artinya disini terjadi Miss atau kesalahan,” ucapnya.
Mengingat telah begitu Massif dan maraknya pelanggaran tata ruang yang terjadi di kawasan Lembah Anai, Tomi yakin pelaporan terhadap PT HSH, akan berdampak luas terhadap tegaknya aturan di kawasan tersebut di masa yang akan datang.
Apalagi selama ini, PT HSH selaku pemilik bangunan hotel dan masjid yang didirikan di kawasan lindung rawan bencana seolah kebal tidak tersentuh hukum. Situasi ini, kontras dengan tindakan tegas yang seringkali dilakukan pemerintah terhadap pelanggaran tata ruang kota yang dilakukan masyarakat lemah tak berdaya seperti halnya para PKL.
“Jika yang melanggar adalah PKL, dalam waktu satu hari pasti bangunan liar atau gerobak mereka langsung dibongkar Satpol PP. Kenapa hal yang sama tidak bisa dilakukan dalam konteks pelanggaran tata ruang di lembah Anai?
Padahal Perda nya sama. Kami menduga ada indikasi relasi kuasa antara pengusaha dan pemerintah daerah di daerah itu. Ini yang menjadi concern kami,” pungkasnya. (*)













