JAKARTA, METRO–Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Yusril Ihza Mahendra menyoroti rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang telah diajukan oleh pemerintah sebelumnya. Ia menilai, pengesahan RUU tersebut justru bisa menimbulkan persoalan hukum baru, khususnya terkait dengan prosedur perampasan aset hasil kejahatan.
“Saya pun kadang-kadang juga setiap kali bertemu dengan kalangan LSM bertanya kapan pemerintah akan mulai membahas rencana undang-undang tentang perampasan aset,” kata Yusril dalam sebuah acara yang diunggah dalam media sosial Instagram pribadinya, Kamis (8/4).
Ia mengamini, ada dorongan kuat dari masyarakat sipil agar pemerintah mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset. Namun, menyebut bahwa RUU Perampasan Aset yang sebelumnya telah diajukan pada masa pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) itu masih perlu dikaji ulang.
“Nah kami sendiri juga kena kira-kira ini sudah diajukan oleh pemerintah yang lalu pada masa pemerintahan Pak Jokowi sudah diserahkan ke DPR rencana undang-undang tentang perampasan aset itu, tapi kalau kita pelajari lagi sekarang tentu akan menimbulkan persoalan-persoalan baru,” ungkapnya.
Ia menyoroti, selama ini mekanisme perampasan aset dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
“Yang selama ini kita tahu bahwa perampasan itu kan mesti pada putusan akhir pengadilan ya, vonis pengadilan telah persidangan terbukti sah dan meyakinkan terdakwa melakukan kejahatan seperti yang didakwakan,” jelas Yusril.
Namun, RUU Perampasan Aset yang ada saat ini, memberikan kewenangan untuk merampas aset lebih awal, bahkan sebelum ada putusan pengadilan.
“Tapi kalau kita baca rancangan undang-undang perampasan aset ini di depan itu sudah dirampas, bukan disita. Kalau disita kan bisa, pada waktu penyidikan disita barang bukti ya, tapi ya disimpan aja dulu, nanti tergantung putusan akhir,” paparnya.
















