OLEH: Bagindo Yohanes Wempi (Ketua PII Kota Padang)
KITA ingat ceramah Almarhum KH Zainudin MZ yang mengatakan semua orang boleh lebaran, yang puasa boleh lebaran, yang ungkang-ungkang gak puasa juga boleh lebaran, bahkan yang bukan non muslim pun boleh lebaran, itulah dinamakan budaya kebiasaan.
Jadi bisa disimpulkan budaya lebaran menurut penulis adalah perayaan kemeriahan hedonis setelah puasa Ramadan. Perayaan lebih secara fisik dan sosial dari turun temurun di Ranah Minang seperti dengan mudik, bermaaf-maafan, hiburan, berpakaian baru dan tradisi lainnya.
Nah, dengan kondisi Indonesia atau Minangkabau yang saat ini sedang dalam kondisi ekonomi gelap maka perlu lebaran tersebut dilakukan efesiensi atau disederhana perayaanya, mari kembali ke kaedah lebaran yang sesuai dengan tuntunan Agama Islam atau budaya Idhul Fitri sesuai Syar’i.
Lebaran atau dalam bahasa Indonesianya adalah Hari Raya, hari yang ditunggu-tunggu oleh setiap umat Muslim yang ada di seluruh negara. Dari berbagai hari raya besar yang ada di dalam kalender Hijriah, hari raya idul fitri dan idul adha adalah hari yang paling dinanti oleh setiap umat Muslim.
Di sini kita akan mengulas tradisi yang harus disederhana atau jangan berlebihan-lebihan yang membuat beban ekonomi semakin berat. Saatnya peringatan hari raya atau lebaran itu perlu dilakukan kontruksi ulang yang sesuai dengan adab dan pelaksanaan secara agama Islam, tidak berlebih-lebihan yang menyebabkan secara pesta tidak memiskinkan orang secara ekonomi atau material.
Hari raya Idhul Fitri itu sangat sederhana prosesi yang dilakukan dan sudah ada adabnya misal menjelang hari raya Idul Fitri, umat Islam dianjurkan menghidupkan suasana di malam hari sebelumnya. Artinya umat Islam tidak sebaiknya tidur awal, tetapi menyibukkan diri ter-lebih dahulu dengan hal-hal yang berkaitan dengan persiapan pelaksanaan Shalat Id di pagi harinya.
Komentar