OLEH: Irsyad Syafar (Anggota DPRD Sumbar F-PKS)
Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk menghadiri shalat Jumat dan Shalat Ied dengan tampilan yang rapi (berhias), bersih sekaligus wangi. Dan itu juga berlaku untuk shalat berjamaah 5 waktu, yang dihadiri oleh jumlah yang banyak. Termasuk juga saat menunaikan shalat tarawih yang kebiasaannya jumlah yang hadir melebihi jumlah jamaah rutin masjid di hari biasa.
Allah Swt berfirman yang artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al A’raf: 31).
Para ulama menjelaskan bahwa ayat ini memerintahkan agar setiap muslim memakai pakaian yang indah setiap kali pergi (memasuki) ke masjid. Dan maksudnya adalah bukan sekedar pakaian, akan tetapi yang menutup aurat, bersih dari kotoran dan najis serta pakaian yang baik.
Terkait mandi, menggosok gigi dan memakai wewangian di hari Jumat, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: “Mandi pada hari Jumat adalah kewajiban (sangat dianjurkan) bagi orang dewasa. Dan hendaklah ia bersiwak dan memakai wewangian jika ada.” (HR Bukhari dan Muslim).
Banyak lagi hadits lain yang memerintahkan setiap muslim agar datang ke masjid untuk shalat Jumat dan shalat Ied, dalam keadaan bersih badan dan pakaian serta memakai wangi-wangian. Sedangkan untuk shalat berjamaah harian diqiyaskan kepada kedua shalat tersebut.
Terdapat juga larangan keras dari Rasulullah Saw bagi siapa yang baru saja memakan makanan yang beraroma tajam (tidak sedap) untuk tidak hadir ke masjid. Sebab itu akan mengganggu jamaah yang lain dan juga mengganggu para Malaikat. Beliau bersabda yang artinya. “Barangsiapa yang memakan bawang merah, bawang putih dan kurrats -sejenis daun bawang-), maka janganlah ia mendekati masjid kami, sebab Malaikat merasa terganggu dengan hal (bau) yang membuat manusia terganggu.” (HR Muslim).
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa bau bawang di dalam hadits tersebut hanyalah sebagai contoh saja. Semua bau yang menyengat dan tidak sedap yang keluar dari mulut karena faktor makanan (bukan puasa), masuk dalam kategori larangan. Beliau berkata. “Para ulama ahli fikih menyamakan hal ini kepada sesuatu yang semakna dengannya (bawang) seperti sayuran (polongan) dan lobak yang baunya menyengat.”
Maka orang yang baru saja makan petai, jengkol atau bahkan merokok, apalagi kombinasi itu semua, itu pastilah mengeluarkan aroma yang tidak sedap. Bila ia shalat disamping orang lain, desahan nafas dan sendawanya akan sangat mengganggu. Apalagi jika shalatnya cukup panjang seperti shalat tarawih. Bisa menimbulkan rasa mual atau pusing, dan hilangnya kekhusyukan.
Para ulama bahkan memperluas cakupan masalah aroma tidak sedap ini kepada bau badan, bauk ketek, dan bau pakaian yang penuh keringat atau sudah lama tidak dicuci. Atau orang-orang yang bekerja di tempat yang penuh dengan aroma tidak sedap seperti tukang daging, tukang ikan dan sejenisnya.
Atau bahkan Ulama juga memasukkan bau badan yang ditimbulkan oleh adanya penyakit di badan atau di mulut yang akan menggangu orang lain. Siapa saja yang dalam situasi tersebut dilarang hadir ke masjid dan mendapat rukhsah sampai bau tersebut hilang dari badannya.
Karena itu, mari kita yang dalam kondisi sehat untuk membiasakan hadir ke masjid dengan pakaian dan badan yang bersih, menyikat gigi, menghentikan rokok dan disempurnakan dengan memakai wangi-wangian. Jangan sampai kehadiran kita justru menyebabkan tidak khusyuknya shalat orang lain dan terganggunya Malaikat.
Rasulullah SAW sendiri memang sangat menyukai wangi-wangian. Dari hadits Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: “Aku dikaruniai rasa cinta dari dunia kalian: wanita dan wangi-wangian dan dijadikan shalat sebagai penyejuk mataku.” (HR. An Nasa’i no. 3879 dan Ahmad no. 11845).
Khusus tentang wewangian ini tentunya hanya untuk kaum lelaki saja. Adapun kaum wanita diharamkan keluar rumah memakai wewangian. Mereka cukup dengan kondisi bersih dan rapi menutup aurat tanpa wewangian. Wallahu A’lam bishshawab. (*)