OLEH: Prof. Dr. Silfia Hanani, M.Si (Rektor UIN Sjech M Djamil Djambek Bukittinggi)
RAMADHAN bukan sekadar bulan untuk menahan lapar dan haus, tetapi juga penuh dengan edukasi yang sangat menentukan kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Salah satu edukasi terpenting yang dapat dipetik dari Ramadhan adalah tentang kepemimpinan.
Ramadhan mengajarkan manusia untuk membangun dirinya dengan kekuatan yang mengantarkan pada tingkat ketakwaan. Oleh karena itu, manusia harus menjadi pengendali bagi dirinya sendiri agar dapat mencapai kesempurnaan sebagai makhluk. Ia harus mampu memimpin dirinya menjadi insan kamil. Ramadhan mengarahkan dan menertibkan manusia agar memiliki daya kualitas yang menentukan kehidupannya menuju kesejahteraan.
Bulan suci ini juga melatih disiplin dalam tata laku dan waktu, misalnya melalui pengaturan jadwal yang ketat dalam menjaga aktivitas serta menjauhi hal-hal yang tidak meningkatkan kualitas hidup. Pengendalian ini menjadi modal berharga dalam membangun kepemimpinan seseorang yang ditempa selama bulan Ramadhan.
Saat ini, kita menghadapi krisis kepemimpinan, baik dalam lingkup pribadi maupun dalam skala kebangsaan. Akibatnya, bangsa ini sulit dikelola dengan baik, bahkan individu pun sering kali tidak memiliki visi yang kuat untuk membangun kehebatan dan kebaikan. Dalam konteks kebangsaan, kita membutuhkan pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan yang mampu mengelola bangsa ini dengan baik. Terlebih lagi, Indonesia adalah negara yang besar, luas, dan memiliki penduduk yang beragam serta berjumlah besar.
Selain itu, puasa juga melatih jiwa kepemimpinan yang empati, simpati, dan solidaritas. Hal ini tergambar dari bagaimana kita menjalankan ibadah puasa, menahan lapar dan haus, sehingga kita dapat merasakan penderitaan kelompok masyarakat yang terbiasa hidup dalam kondisi kekurangan. Kesadaran ini menuntut kepedulian kita untuk berbagi, memberi, dan bersama-sama menanggulangi kesulitan yang ada.
Empati, simpati, dan solidaritas adalah bagian dari kehidupan manusia sebagai bukti kesempurnaannya sebagai makhluk sosial. Dengan nilai-nilai tersebut, manusia dapat membangun kehidupan yang lebih layak, adil, dan sejahtera. Jika seorang pemimpin memiliki rasa empati dan simpati, tentu ia tidak akan berani melakukan korupsi demi memperkaya diri dan kelompoknya. Ia akan memahami bahwa empati dan simpati diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Pemimpin yang memiliki kepedulian tidak akan tega melihat masyarakatnya larut dalam ketidakadilan dan kemiskinan.
Ramadhan juga mendisiplinkan manusia untuk menjadi pribadi yang paripurna, memiliki jiwa humanis, serta memiliki dedikasi spiritual dan kebangsaan yang tinggi. Hal ini tercermin dalam cara kita menjalankan ibadah selama Ramadhan. Sejak subuh, kita berusaha menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Menjelang petang, kita menjalankan berbagai tradisi, seperti ngabuburit untuk mengisi waktu sebelum berbuka puasa. Tradisi ini menghadirkan banyak aktivitas, mulai dari mencari hidangan berbuka hingga merencanakan salat tarawih pada malam harinya.
Seluruh rangkaian kegiatan tersebut menunjukkan nilai-nilai humanis dan penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk sosial. Kehumanisan inilah yang harus kita pegang teguh dan jadikan sebagai landasan dalam kepemimpinan. Mustahil sebuah masyarakat atau bangsa menjadi baik jika pemimpinnya tidak memiliki jiwa humanis. Pemimpin yang tidak humanis hanya akan melahirkan kediktatoran.
Oleh karena itu, mari kita belajar dari setiap momen di bulan Ramadhan ini. Jika kita mampu memaknainya dengan baik, kita akan menemukan lautan hikmah yang luar biasa, termasuk dalam hal kepemimpinan, baik dalam lingkup diri sendiri, keluarga, masyarakat, maupun bangsa dan negara. Selamat menjalankan ibadah puasa. (*)