Empati, simpati, dan solidaritas adalah bagian dari kehidupan manusia sebagai bukti kesempurnaannya sebagai makhluk sosial. Dengan nilai-nilai tersebut, manusia dapat membangun kehidupan yang lebih layak, adil, dan sejahtera. Jika seorang pemimpin memiliki rasa empati dan simpati, tentu ia tidak akan berani melakukan korupsi demi memperkaya diri dan kelompoknya. Ia akan memahami bahwa empati dan simpati diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Pemimpin yang memiliki kepedulian tidak akan tega melihat masyarakatnya larut dalam ketidakadilan dan kemiskinan.
Ramadhan juga mendisiplinkan manusia untuk menjadi pribadi yang paripurna, memiliki jiwa humanis, serta memiliki dedikasi spiritual dan kebangsaan yang tinggi. Hal ini tercermin dalam cara kita menjalankan ibadah selama Ramadhan. Sejak subuh, kita berusaha menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Menjelang petang, kita menjalankan berbagai tradisi, seperti ngabuburit untuk mengisi waktu sebelum berbuka puasa. Tradisi ini menghadirkan banyak aktivitas, mulai dari mencari hidangan berbuka hingga merencanakan salat tarawih pada malam harinya.
Seluruh rangkaian kegiatan tersebut menunjukkan nilai-nilai humanis dan penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk sosial. Kehumanisan inilah yang harus kita pegang teguh dan jadikan sebagai landasan dalam kepemimpinan. Mustahil sebuah masyarakat atau bangsa menjadi baik jika pemimpinnya tidak memiliki jiwa humanis. Pemimpin yang tidak humanis hanya akan melahirkan kediktatoran.
Oleh karena itu, mari kita belajar dari setiap momen di bulan Ramadhan ini. Jika kita mampu memaknainya dengan baik, kita akan menemukan lautan hikmah yang luar biasa, termasuk dalam hal kepemimpinan, baik dalam lingkup diri sendiri, keluarga, masyarakat, maupun bangsa dan negara. Selamat menjalankan ibadah puasa. (*)
Komentar