[ADINSERTER AMP]

Isu Pemberantasan Korupsi di Indonesia Dinilai Tidak Lebih dari Sandiwara

Pengamat hukum dan politik, Pieter C Zulkifli

JAKARTA, METRO–Pemberantasan korupsi di Indonesia dinilai tidak lebih dari sandiwara. Praktik culas di Tanah Air bukan lagi sekadar pe­nyakit, tetapi te­lah menjadi sis­tem yang di­langgengkan oleh para pe­negak hukum itu sendiri.

Pengamat hu­kum dan po­litik, Pieter C Zul­kifli menyata­kan, bagaimana mungkin rakyat diminta percaya pada institusi penegak hukum, baik Kejaksaan Agung (Kejagung), KPK, dan Mahkamah Agung (MA), ketika pejabatnya justru meloloskan koruptor dengan kerugian negara triliunan rupiah.

“Bagaimana mungkin KPK bisa diandalkan jika ketuanya sendiri terlibat dalam mafia anggaran? Dan masih banyak kasus-kasus besar lainnya kemudian menguap dan hilang tanpa bekas,” kata Pieter kepada wartawan, Minggu (16/3).

Menurutnya, para tengah elite bersandiwara dengan seolah-olah berjuang untuk rakyat. Padahal, menjadi aktor besar lalu merampok dan menjarah uang negara.

“Korupsi di Indonesia telah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan. Ironi terbesar terjadi ketika mereka yang seharusnya memberantas korupsi justru terjerat dalam pusaran korupsi itu sendiri. Meski terasa getir, namun fenomena memberantas sambil korupsi bukan lagi kasus yang mengejutkan,” cetusnya.

Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini mengatakan, KPK yang dulu dianggap sebagai benteng terakhir pembe­rantasan praktik rasuah, kini mengalami kemunduran besar. Salah satu buktinya, mantan ketua KPK Firli Bahuri yang terlibat dalam skandal korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan).

Bukannya menjadi simbol integritas, lanjut Pieter, Firli malah terseret dalam mafia anggaran dan jual beli jabatan. Ia menilai, kasus ini menun­juk­kan bahwa KPK sudah tidak lagi steril dari praktik korupsi yang selama ini mereka perangi.

Tak hanya KPK, Polri juga telah tercoreng oleh berbagai skandal. Dia mencontohkan, kasus Ferdy Sambo yang membunuh ajudannya sendiri demi menutupi kejahatan yang lebih besar.

“Serta Irjen Teddy Minahasa yang seharus­nya memberantas narkoba tetapi justru terlibat dalam jual beli barang haram, semakin memperjelas betapa bobroknya sistem penegakan hukum di negeri ini,” paparnya.

Sementara itu, jika lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng keadilan malah menjadi sarang mafia hukum. Baru-baru ini, tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya ditangkap karena menerima suap untuk memberikan vonis bebas bagi Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan Dini Sera.

Ia menekankan, kasus itu semakin menegaskan bahwa hukum di Indonesia bukan lagi soal keadilan, tetapi soal rendahnya moral dan siapa yang memiliki modal banyak dapat memengaruhi berbagai kebijakan.

“Yang lebih menge­jutkan lagi, uang dalam jumlah besar bisa membeli jabatan dan kekuasaan. Ketika keadilan dapat diperjual­belikan, maka rakyat kecil hanya bisa pasrah memikul berbagai macam penderitaan dengan kenyataan bahwa selama ini hukum memang tidak pernah berpihak kepada mereka,” cetusnya.

Pieter tak heran, penyakit korupsi yang melibatkan hampir semua institusi penting di negeri ini membuktikan bahwa Indonesia kini dikuasai oleh para penyamun, yang menjarah uang rakyat tanpa rasa malu.

Menurut dia, rendah­nya moral dan buruknya sistem menjadi faktor uta­ma mengapa korupsi terus mengakar. Ia pun me­mandang, hingga kini belum ada komitmen serius dari pimpinan partai politik untuk menciptakan sistem yang kuat dan bersih dari korupsi.

“Bahkan, dari tahun ke tahun, data menunjukkan tren peningkatan kasus korupsi yang melibatkan elite partai politik dan aparat penegak hukum,” pungkasnya. (jpg)

[ADINSERTER AMP]
Exit mobile version