“Ini ada banyak sekali. Selama ini baru zakat yang diaktifkan. Nah, karena itu kalau yang lain diaktifkan, wakaf nanti diaktifkan itu jauh lebih dahsyat daripada zakat,” paparnya.
Dia mencontohkan, untuk dana Baznas saja, dari penerimaan Rp 41 triliun di tahun ini, separuhnya bisa mengentaskan kemiskinan ekstrem. “Jadi saya kira, kita berharap tahun depan nanti potensi zakat Indonesia itu bisa mencapai 300 triliun,” pungkasnya.
Senada, Mensos Saifullah Yusuf pun menegaskan, bahwa kehadiran DTSEN ini jadi momentum bagi pemerintah untuk mensinergikan dan mengintegrasikan semua bantuan-bantuan yang diberikan ke masyarakat lewat berbagai kementerian.
Menurutnya, dalam DTSEN ini sudah ada perangkingan, mulai dari desil 1 hingga 10 dengan ukurannya jumlah pengeluaran individu per bulan. Misalnya, desil 1 mewakili kelompok miskin ekstrem yang pengeluarannya di bawah Rp 400 ribu per bulan.
“Ini tidak ada dalam data sebelumnya dan pasti lebih mempermudah sasaran. Nah bagaimana dengan adanya DTSEN ini dibandingkan dengan data-data lalu? Fakta menunjukkan bahwa ada yang namanya inclusion error atau exclusion error,” paparnya. Sehingga, ada saja data warga yang harusnya berhak bansos namun justru tak mendapatkannya, begitu pula sebaliknya.
Diakuinya, ternyata cukup banyak masyarakat yang ada di desil-desil besar tapi menerima bansos. Misal, mereka yang masuk desil 8,9, dan 10. Padahal, mestinya mereka tidak berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah ini.
“Dan itu tergambar di dalam data. Saya belum berani sebut angkanya, tapi menurut saya lumayan besar. Ada sekian persen yang tidak tepat sasaran. Ada beberapa juta orang yang sekarang tidak akan dapat lagi,” sambungnya.
Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan, angka kemiskinan makro mencapai 8,57 persen. Dari angka tersebut, 1,13 persennya merupakan miskin ekstrim. “Jadi jumlah orang miskin ekstrim saat ini sekitar 3,17 juta, ya itu sekitar 1,13 persen,” ungkapnya. (jpg)
Komentar