Ia menilai desain sistem pemilu sebaik apapun pada akhirnya akan percuma, sebab bergantung pada perilaku penyelenggara pemilu hingga peserta pemilu itu sendiri.
“Karena saya percaya betul peribahasa yang bilang, the right system will produce the right result, sistem yang baik (akan) menghasilkan hasil yang baik. Tetapi kalau yang menjalankan sistemnya juga enggak baik, susah ini. Jadi kita lahir dari rahim demokrasi yang brutal (Pemilu) 2024, kita sepakat. Karena diskusi juga gini kalau kita tidak setop money politics, akan ada namanya istilah saya sebut inflasi demokrasi, 2029 semakin besar nanti,” imbuhnya.
Adapun, anggota Komisi II dari Fraksi PDI Deddy Sitorus lebih menyoroti aspek moralitas lembaga penyelenggara pemilu.
Dia menekankan, pentingnya perbaikan perilaku penyelenggara dan pengawas pemilu yang disebutnya sebagai faktor internal, di atas pembenahan sistem kepemiluan di tanah. “Ketika penyelenggara dan pengawas yang menjadi bagian dari kerusakan itu, gimana sih ngatasin itu, kalau kita mau bicara memperbaiki pemilu? Karena tidak ada sistem pemilu apapun yang bisa dikatakan sempurna bahkan mendekati sempurna, tidak akan ada,” kata Deddy.
Selain faktor internal, Deddy mencatat pula pentingnya memberi perhatian terhadap faktor eksternal dalam memperbaiki sistem kepemiluan di Tanah Air, yakni intervensi kekuasaan demi memenangkan kontestasi.
“Jadi, akan menjadi sangat sia-sia kita berbicara berbagai macam skenario pemilu, skenario perbaikan partai politik, penyelenggara pemilu. Kalau pemilu itu sendiri sangat rentan terhadap kekuasaan, terhadap institusi-institusi yang memiliki kekuatan untuk menekan, mempengaruhi hasil, memanipulasi dan sebagainya,” imbuhnya. (*)
















