Pemohon merasa dirugikan dengan keberadaan pasal yang berlaku saat ini. Mereka mengatakan pasal itu membuka kemungkinan anggota legislatif terpilih dalam Pemilu bukan orang dari dapil dan kurang memahami isu lokal di dapilnya. Mereka menilai anggota legislatif harus berdomisili sesuai Dapilnya karena memahami setiap persoalan yang dialami di daerah tersebut. Sebab, lanjut pemohon, para caleg itu sudah bertempat tinggal di daerah tersebut dari lama.
Pemohon menyampaikan keberadaan pasal itu membuat masyarakat asli daerah tersebut harus bersaing dengan pendatang untuk berebut kursi legislatif.
“Anggota legislatif sebagai unsur representasi keterwakilan rakyat dari suatu daerah seharusnya dipilih berdasarkan domisili untuk memastikan ia memahami permasalahan dari daerah yang diwakilinya karena pernah tinggal di daerah tersebut dan merasakan permasalahan secara langsung,” demikian penjelasan pemohon.
Pemohon kemudian membandingkannya dengan konteks pencalonan anggota DPD. Menurutnya, ada ketentuan bahwa calon anggota DPD harus merupakan penduduk yang berdomisili di dapil yang bersangkutan.
“Karena itu, pemohon merasa dirugikan karena putusan serupa yang mengatur syarat domisili dalam pemilihan anggota legislatif belum pernah dikeluarkan oleh MK. Padahal, urgensi representasi menurut Pemohon lebih penting dalam Pileg yang merupakan pemilihan umum berdasarkan dapil di daerah tertentu,” lanjut alasan pemohon. (*)
















