JAKARTA, METRO–Guru Besar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara Universitas Padjajaran (Unpad), Prof I Gde Pantja Astawa menyatakan, penyelenggaraan pemerintahan negara saat ini tidak mempunyai maksud, arah dan tujuan yang jelas.
Pasalnya, tidak ada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi blue print dan arah bagi Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan tertinggi, yang ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI.
“Ketiadaan atau dihapuskannya (Amandemen) wewenang MPR menetapkan GBHN menyebabkan negara ini tidak memiliki cetak biru di dalam membangun Negara sehingga arah dan tujuan Negara pun tidak jelas. Mau dibawa kemana Negara ini?,” kata Prof Gde dalam diskusi bertajuk ‘Mengembalikan Marwah MPR RI sebagai Pelaksana Kedaulatan Rakyat’ di Jakarta, Jumat (7/2).
Selain ketentuan Pasal 3 UUD 1945 mengenai GBHN, Prof Gde juga menyinggung beberapa pasal dalam UUD 1945 yang diamandemen MPR RI. Diantaranya Pasal 1 ayat (1), Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 6 UUD 1945 yang telah diamandemen MPR RI.
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 misalnya, dimana disebutkan jika ‘Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat’. Ketentuan ini menegaskan bahwa salah satu pilar bangunan Negara Republik Indonesia adalah kedaulatan rakyat.
“Secara harfiah, ketentuan Pasal 1 ayat (1) itu berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat,” ucap Prof Gde.
Pasal 2 ayat (1), bahwa ‘Majelis Permuayawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan masing-masing’.
Menurutnya, susunan keanggotaan MPR yang mencerminkan perpaduan antara political representation yang diwakili DPR dan functional representation di antaranya oleh Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Sehingga susunan keanggotaan MPR memperlihatkan wajah MPR sebagai penjelmaan rakyat.
Komentar