Presidential Threshold Dihapus MK, DPR akan Batasi Pasangan Calon Presiden

KOMISI II— Muhammad Rifqinizamy Karsayuda (Partai Nasdem) pimpin Komisi II DPR RI didampingi empat wakil ketua.

JAKARTA, METRO–Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Kar­sayuda menyatakan, berkomitmen men­jalankan asas keterbukaan dan transpa­ransi se­lama pembahasan revisi UU Pemilu seba­gai bentuk konsekuensi dari putusan Mah­kamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ambang batas penca­lonan presiden atau presidential threshold. Sebab, asas keterbukaan dan transparansi, merupakan salah satu fqiunsur partisipasi dalam proses pembentukan undang-undang.

Pasalnya, MK dalam pertimbangan hukumnya meminta DPR dan peme­rintah untuk menjalankan tugas konstitusional agar penghapusan ambang ba­tas syarat pencalonan pre­siden dan wakil presiden tak kontraproduktif dengan cita-cita demokrasi.

“Kami ini lembaga yang diberikan tugas oleh konstitusi, DPR dan pe­merintah. Percayakan ke­pada kami dulu, biarkan prosesnya kami bangun dengan baik transparan dan akuntabel,” kata Rif­qinizamy kepada warta­wan, Senin (20/1).

Politikus Partai Nas­dem itu mengungkapkan, masyarakat tak perlu kha­watir dengan kinerja DPR dan pemerintah dalam me­lakukan rekayasa konsti­tusi. Ia berkomitmen untuk membuka ruang partisi­pasi bagi masyarakat agar terlibat dalam memantau pembentukan norma baru UU Pemilu.

Rifqi juga memastikan, weluruh rangkaian tahapan tersebut akan mem­per­timbangkan asas trans­paransi dan akuntabilitas.

“Meaningful participation saya jamin. Sekarang seluruh rapat di Komisi II DPR itu live dan disiarkan langsung melalui media sosial dan direkam. Jadi, kami bisa pertanggung­jawabkan akuntabilitas dan transparansi seluruh forum yang ada di Komisi II DPR RI,” tegas Rifqi.

Ia menilai, MK mampu memposisikan diri sebagai negative legislator dalam putusan penghapusan am­bang batas pencalonan presiden, sehingga hanya membatalkan norma. Se­dangkan, jika MK bertindak sebagai positive legislator, permintaan rekayasa kon­stitusi kepada DPR dan pemerintah tak diperlukan.

Oleh karena itu, DPR dan pemerintah berkewa­jiban merespons putusan MK yang memerintahkan pembentuk undang-un­dang untuk melakukan re­kayasa konstitusi.

“Sebetulnya kalau MK memposisikan diri tidak menjadi negative legislator, ya tidak hanya mem­batalkan norma Pasal 222, tapi menjadi positive legislature membentuk norma. Debat ini menjadi ada ka­rena di pertimbangan hu­kumnya diminta kami me­lakukan constitutional engineering karena itu perca­yalah (Komisi II akan mela­kukan ,” terang Rifqi.

Menurutnya, rekayasa konstitusi yang akan dilaku­kan DPR dan pemerintah ditujukan untuk mengan­tisi­pasi pasangan capres-cawapres yang terlalu ba­nyak. Maka dalam pertim­bangan hukumnya, MK meminta agar dilakukan formulasi agar hak konsti­tu­sional warga negara da­pat terpenuhi.

“Yang minta jangan ter­lalu banyak tuh enggak ada pernyataan dari DPR. Per­nyataan itu dipertimba­ngan hukum putusan Mah­kamah Konstitusi Nomor 62 Tahun 2024 yang kira-kira bunyinya, kalau partai politik peserta pemilu ada 30 maka amat memung­kinkan jumlah pasangan capres-cawapres juga 30. Karena itu, pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan pemerintah diberikan tugas oleh Mah­kamah Konstitusi untuk melakukan apa yang me­reka sebut sebagai consti­tusional engineering atau rekayasa konstitusional dengan lima order atau lima guidance,” jelas Rifqi.

Karena itu, Komisi II DPR telah menjadwalkan rapat bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan lembaga penyeleng­gara pemilu untuk meru­muskan norma yang di­minta dalam putusan MK. Termasuk melibatkan pe­giat kepemiluan dan aka­demisi dalam memformu­lasikan norma baru dalam UU Pemilu.

“Nah posisi Komisi II dan DPR, saat ini masih masa reses. Nanti tanggal 21 (Januari) baru rapat paripurna pembukaan ma­sa siding. Kendati demi­kian, komitmen Komisi II yang diamanahkan kepada saya untuk memimpin, kami akan sangat serius. Pertama, melakukan eva­luasi pemilu baik pileg, pilpres, maupun pilkada, dan kami akan mengun­dang seluruh stakeholders kepemiluan, baik itu yang berasal dari society mau­pun akademisi,” pung­kas­nya. (jpg)

Exit mobile version