Terdakwa Kasus Timah Hadapi Vonis Hari ini, Kuasa Hukum Minta Hakim Hati-hati Beri Keputusan

SIDANG— Terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 Harvey Moeis menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta.

JAKARTA, METRO–Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) Suparta akan menjalani si­dang vonis Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Senin (23/12).

Tim kuasa hukum, Junaedi Saibih mempersoalkan hitung luas operasi PT Timah yang dilakukan ahli kehutanan, bukan ahli ge­ologi. “Interpretasi citra sa­telit atas bukaan tambang seharusnya dilakukan oleh ahli geologi, bukan ahli kehutanan,” kata Junaedi kepada wartawan, Minggu (22/12).

Ia mempertanyakan, akurasi perhitungan yang dilakukan oleh spesialis forensik api dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Bambang Hero Saharjo, yang menyatakan total bukaan tambang pada 2019-2020 mencapai 170.363 hektare dengan kerugian ling­kungan mencapai Rp 171 triliun.

Menurut Junaedi, data itu justru menunjukkan bahwa mayoritas area terbuka akibat aktivitas tambang PT Timah Tbk telah terjadi sebelum Januari 2015. Ia menyebut, pada periode 2015-2022, luasan bukaan hanya 5.658,30 hektare atau 10,86 persen dari total area.

“Ini membantah tuduhan jaksa bahwa kegiatan tambang masif terjadi pa­da 2015-2022,” jelasnya.

Junaedi menilai, metode perhitungan kerugian yang dilakukan tidak relevan. Ia berpandangan ada kecenderungan mencampuradukkan keilmuan, yang dapat menimbulkan keraguan terhadap objektivitas proses hukum.

“Menugaskan ahli kehutanan untuk menghitung kerugian di wilayah pertambangan adalah praktik yang mengabaikan prinsip keilmuan,” ujar Junaedi.

Ia menambahkan, per­hitungan kerugian lingkungan sudah seharusnya men­jadi domain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang memiliki tupoksi dalam studi kelayakan tambang. Menurutnya, ahli lain yang diharkan, Guru Besar Bidang Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan IPB, Prof. Dr. Sudarsono Soedomo, yang memberikan keterangan di persidangan, menguatkan pandangan tersebut.

“Pemerintah sudah menghitung dampak tambang terhadap lingkungan dan ekonomi sebelum mem­berikan izin usaha. Hal ini dilakukan melalui cost-benefit analysis untuk memastikan dampak positif lebih besar daripada dampak negatif,” urai Junaedi.

Junaedi juga mempertanyakan apakah langkah ini benar-benar untuk pe­negakan hukum atau justru didorong oleh ambisi tertentu.

“Jika aspek keilmuan diabaikan, proses hukum bisa terkesan hanya me­ngejar ambisi tertentu dan mencederai prinsip keilmuan yang diwariskan secara turun-temurun,” paparnya.

Oleh karena itu, ia meminta majelis hakim untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan, mengingat perbedaan pendapat antara ahli geologi dan ahli kehutanan. “Ini bukan sekadar soal angka, tetapi soal memastikan bahwa penilaian dilakukan oleh pihak yang kompeten di bidangnya,” pungkasnya.

Sebagaimama diketahui, Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT), Suparta yang perusahaannya diwakili Harvey Moeis dihukum 14 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan.

Selain itu, Suparta juga dituntut melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana dakwaan kedua primair. (jpg)

Exit mobile version